Sesungguhnya di Atas Al Haq Ada Cahaya

Ikhwan Kajian yang selalu mendapat keberkahan. Informasi atau opini terkadang membuat kita berdetak kagum dan bangga dengan info tersebut. Dan tidak sadar pula kita kadang selalu terpengaruh akan kata dan bujuk rayuannya.Namuan dengan adanya Sesungguhnya di Atas Al Haq Ada Cahaya kita bisa mencari celah kebenaranya tanpa adanya sifat menyalahkannya. Namun hanya mencari letak dasar kebenaranya itu sendiri.

Sesungguhnya di Atas Al Haq Ada Cahaya mengajak kita untuk berfikir untuk menambah khasanah keilmuan kita.Dengan adanya kajian tentangnya kita mengerti yang benar dan yang salah.Jadikan memontum ini untuk menguatjan kita.Dan pastikan pula kita selalu mawas diri dalam menghadapi setiap problematik kehidupan kita.Dan selu berhati hati dalam menyikapi segala sesuatunya.

SESUNGGUHNYA DI ATAS AL-HAQ ADA CAHAYA

Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu ‘Abdillah Muhammad Afifuddin as-Sidawy hafizhahullah

Al-Hakim dalam Mustadarak-nya meriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
 فَإِنَّ عَلَى الْحَقِِّ نُورًا
“Sesungguhnya di atas al-haq ada cahaya.”(Dihukumi sahih oleh al-Hakim dan disetujui oleh adz-Dzahaby)

Al-haq yang dibawa dan diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah sempurna, menyeluruh, dan bercahaya. Ia dapat dilihat dengan jelas dan dikenali dengan baik oleh setiap muslim yang punya iman, ilmu, dan fitrah yang masih lurus lagi bersih.

Cahaya al-haq terkadang begitu benderang bagi siapa saja. Akan tetapi, terkadang ia tertutup oleh kabut tebal beragam kebatilan, syahwat, dan syubhat. Al-haq pun menjadi samar bagi kebanyakan pihak, bahkan sampai-sampai al-haq dianggap sebagai kebatilan dan kebatilan diyakini sebagai al-haq.

Hal tersebut sering terjadi manakala muncul fitnah besar lagi dahsyat yang melibatkan pihak-pihak yang selama ini dikenal sebagai pembawa panji-panji sunnah dan pengibar bendera al-haq. Jangankan kaum muslimin yang awam, banyak ahlul haq yang mengalami kebingungan menghadapi situasi yang demikian. Apalagi ketika suasana diperkeruh dengan adanya fenomena setiap pihak mengklaim “kembali kepada bimbingan ulama”.

Apabila kondisinya sudah seperti ini, sangat penting bagi yang mendambakan keselamatan untuk mengenali cahaya al-haq dengan memperhatikan ciri-ciri berikut.

1. BERBUAH KEBAIKAN, BUKAN KEJELEKAN

Al-haq selalu membuahkan kebaikan, baik pada akidah, manhaj, ibadah, dakwah, muamalah, akhlak, adab, maupun perkara-perkara duniawi. Walaupun pada awalnya membuat “kegaduhan” di tengah-tengah umat dalam bentuk mengidentifikasi setiap orang—apakah dia di atas al-haq ataukah di
atas kebatilan—namun kemaslahatan dan kebaikannya akan dirasakan langsung oleh siapa saja yang berpegang dengannya. Imannya semakin bertambah, akidahnya semakin kokoh, manhajnya semakin jelas, ibadahnya semakin giat, adab dan muamalahnya semakin bagus. Jiwanya pun damai dan tenteram di atas sunnah. Di sisi lain, dia akan menjauh dan meninggalkan segenap kejelekan dan penyimpangan.

Kaidah besar yang disepakati oleh seluruh ulama dan fuqaha:
 الدِِّينُ مَبْنِيٌّ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ وَدَرْءِ الْقَبَائِح
“Agama dibangun di atas prinsip mendatangkan berbagai kemaslahatan dan menolak beragam keburukan.”

Ketika ada sebagian pihak memunculkan “kegaduhan”, bisa diketahui bahwa yang dia bawa adalah al-haq atau kebatilan, dari hasilnya.

Kalau yang berpegang dengannya semakin bertambah iman dan takwanya, semakin kokoh akidah dan manhajnya, semakin bagus akhlak dan adabnya, semakin indah muamalah dan interaksinya, serta membuahkan maslahat untuk umat, maka insya Allah itu adalah al-haq.

Kalau yang terjadi justru sebaliknya, yang berpegang dengannya menjadi orang yang fanatik, malah banyak syubhat, terjatuh dalam sikap ghuluw (berlebihan), kotor ucapannya, keji tingkah lakunya, berani berdusta, dll.; maka yakinilah bahwa itu adalah kebatilan walaupun yang membawanya adalah orang yang selama ini dikenal ilmunya, sunnahnya, dakwahnya dan akhlaknya, karena dia sekarang telah mengalami pergeseran manhaj. نعوذ بالله من الخذلان .

2. TETAP DI ATAS AL-HAQ, TIDAK BERUBAH WARNA

Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf meriwayatkan dari Hudzaifah ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhu, beliau menegaskan

 إِنَّ الضَّلََلَةَ حَقَّ الضَّلََلَةِ أَنْ تَعْرِفَ الْيَوْمَ مَا كُنْتَ تُنْكُرُهُ قَبْلَ الْيَوْمِ، وَأَنْ تُنْكِرَ الْيَوْ مَ مَا كُنْتَ تَعْرِفُهُ قَبْلَ ا ليَوْمِ، وَإِيَّاكُمْ وَالتَّلَوُّنَ فَإِنَّ
دِينَ اللهِ وَاحِد


“Sesungguhnya kesesatan yang sebenarnya adalah engkau menganggap mungkar pada hari ini sesuatu yang sebelumnya engkau yakini sebagai makruf, dan engkau yakini makruf pada hari ini sesuatu yang sebelumnya engkau anggap mungkar. Waspadalah kalian dari sikap talawwun! Sebab, agama Allah hanya satu.”

Ciri pokok lagi mendasar pada al-haq adalah tsabat (kokoh, tegar), tidak berubah dengan berjalannya masa dan berpindahnya tempat. Apa yang dikatakan makruf oleh syariat maka dia adalah perkara makruf sepanjang masa dan tempat sampai hari kiamat. Begitu pula yang dikatakan mungkar dalam Islam, ia selamanya menjadi perkara mungkar sampai hari kiamat.

Ahlul haq dengan sifat-sifatnya selamanya dikatakan sebagai ahlul haq kecuali ketika ada individu yang bergeser dan menyimpang. Begitu pula ahlul batil dengan atribut-atributnya, selamanya diyakini sebagai ahlul batil kecuali apabila ada individu yang bertaubat. Cara mudah mengenali kebatilan adalah dari sikap talawwun (berubah warna) saat fitnah mendera:

  1. Orang yang selama ini diyakini sebagai pengusung fitnah, sering membuat masalah, bahkan ahlul bid’ah dan selama ini dijauhi dan ditahdzir, sekarang diyakini sebagai orang baik, ahlus sunnah, kemudian didekati, dijadikan sahabat, dirangkul kembali, bahkan dipuji, padahal belum ada taubat yang nasuha pada orang tersebut.
  2. Dahulu akhlaknya baik, muamalahnya bagus, namun sekarang berani berdusta, arogan dalam muamalah.
Dan berbagai bentuk beperubahan warna lainnya. Dahulu di atas cahaya al-haq, sekarang penuh warna kebatilan.

3. KEMANA ULFAH-NYA

Ulfah adalah kecondongan hati secara alami karena kesamaan akidah, manhaj, dakwah, profesi, dan lainnya sehingga memunculkan kenyamanan untuk bersahabat, duduk bersama, berjalan bersama, dan saling membantu.

Dalam Shahih al-Bukhary dan lainnya dari Abu Hurairah dan Aisyah radhiyallahu ‘anhum Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 الَْْرْوَاحُ جُنُود مُجَنَّدَة فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ

“Ruh-ruh bagaikan tentara yang terhimpun. Jika saling mengenal, ia akan bersatu. Jika saling mengingkari, akan berpisah.”

Secara alami, seorang mukmin bersama dengan mukminin, seorang kafir bersama orang kafir pula, seorang munafik bersama munafikin, seorang sunny salafy bersama salafiyyin, dan seorang hizby bersama dengan hizbiyyin yang semisal.

Ketika ada seorang sunny bisa berbasa-basi dengan hizby atau pengibar fitnah, itu karena adalah kemunafikan, sebagaimana yang ditegaskan oleh al-Fudhail bin Iyadh.

Ketika terjadi sesuatu atau ada sesuatu yang baru dan membuat kehebohan, fitnah, dan kegaduhan, lalu banyak pihak yang sulit menilai dan memutuskan; konsep ulfah dipakai oeh salaf untuk membongkar kedok semua pihak dengan alami, tanpa bisa ditutupi dan direkayasa.

Ahlul haq akan bersama dengan ahlul haq, dan ahlul batil akan bersama ahlul batil.

Kita bisa melihat secara alami:
  • Siapa yang bergembira dengan fitnah tersebut?
  • Siapa yang bergabung dengan fitnah tersebut?
  • Kepada siapa dia duduk bersama?
  • Siapa yang mendatangi dia?
Banyak ulama—di antaranya al-Imam Ahmad, al-Auza’iy, dll.—yang mengatakan,

 مَنْ سَتَرَ عَنَّا بِدْعَتَهُ لَمْ تَخْفَ عَلَيْنَا أُلْفَتَه 
“Siapa saja yang menutupi kebid’ahannya dari kita, tidak tersamarkan atas kita ulfah-nya.” 

Jangan bangga dengan banyak pihak yang menyahut dan menyambut kalau ternyata mereka adalah orang-orang yang dikenal sebagai orang yang sering menimbulkan problem dan fitnah dalam kancah dakwah.

Seharusnya seseorang sadar dan segera bertaubat manakala salafiyyin, orang-orang yang baik, justru bersedih dan menjauh darinya. Sebab, itu semua adalah pertanda bahwa apa yang dia bawa adalah penyimpangan dan kejelekan.

Jangan merasa mendapat angin ketika memperoleh penjelasan sebagian ulama yang sedikit mendukung, apabila ternyata buah dan hasilnya adalah fitnah. Semua itu adalah fatamorgana. Apalagi banyak ulama kibar lain tidak menyepakatinya.

4. ITTIBA’ BUKAN TAKLID DAN FANATISME BUTA


Syiar Ahlus Sunnah Salafiyyun adalah ittiba’ (mengikuti kebenaran dan dalil), bukan taklid (membebek) dan ashobiyyah (fanatik buta). Ittiba’ ada 2 macam:
  1. Ittiba’us sunnah (mengikuti sunnah) atau ittiba’ur rasul (mengikuti Rasulullah).
  2. Ittiba’ kepada selain Rasulullah, baik itu kalangan ulama, dai, ustadz, dan yang lainnya, dengan dalil-dalil dan hujjah-hujjah yang dibenarkan oleh syariat.
Dalil tentang masalah ini sangat banyak dan masyhur di kalangan para pencari ilmu. Ketika terjadi sebuah peristiwa dan kejadian yang menimbulkan fitnah dan kehebohan, syiar Ahlus Sunnah dalam semua keadaan dan kasus adalah ittiba;, selalu berjalan dengan dalil. Mereka selalu bersama ulama kibar DENGAN HUJJAH-HUJJAHNYA, tidak terjatuh pada taklid atau fanatik buta kepada seseorang, baik ustadz, syaikh, atau yang lain.

Ciri sebuah fitnah dan penyimpangan adalah berjalan dengan apa dan siapa saja yang sesuai dengan hawa nafsunya, melahirkan sikap taqlik dan fanatik buta yang sebelumnya tidak pernah ada. Jika diberitahu kesalahan-kesalahan orang yang dia bela, dengan penuh fanatisme, dia akan mencari segudang alasan untuk membelanya. Tidak segan pula dia untuk berdusta, tidak takut untuk mencaci-maki, tidak malu untuk berkata dan berbuat keji. “Pokoknya dia benar, tidak salah!!”.

Jika mendapat sedikit fatwa yang sedikit mendukungnya, dengan semangat berapi-api dia memuji syaikhnya, seolah-olah lupa dengan ulama lainnya. Dengan penuh semangat pula dia menyebarkannya tanpa pertimbangan maslahat dan madharat, tanpa melihat fatwa tersebut dia dapatkan di majelis khusus atau majelis umum, tanpa berfikir fatwa tersebut diizinkan untuk disebarkan atau tidak.
“Pokoknya syaikh fulan!!” Tidak peduli fatwa tersebut dilandasi dengan hujjah atau tidak…  
“Pokoknya fulan tamat dengan fatwa ini!!”
"Pokoknya fulan sang pembela pihak yang selama ini ‘tertindas’!!”.

5. WASATHIYYAH (SIKAP PERTENGAHAN), TIDAK GHULUW


Syiar Ahlus Sunnah Salafiyyun dalam semua hal, baik urusan agama maupun dunia, adalah sikap wasathiyyah, yakni pertengahan di atas al-haq, tidak ghuluw (berlebih-lebihan) ataupun tafrith (kurang/meremehkan).

Dalinya juga sangat masyhur di kalangan para pencari ilmu. Wasathiyyah dalam menyikapi, wasathiyyah dalam menilai dan menghukumi. Semua dengan dalil dan hujjah, penuh pertimbangan dan ketelitian, jauh dari sikap tergesa-gesa dan ghuluw.

Bukti sebuah kejadian yang menghebohkan adalah fitnah yang menyesatkan adalah apabila orang yang terbawa fitnah tersebut terjatuh dalam sikap ghuluw atau tafrith, baik ketika bersikap, menilai, maupun menghukumi. Sesuatu yang terkadang belum pernah terjadi sebelumnya. Tanpa risih, dia menjuluki dainya sebagai:
 الُْْسْتَاذُ الشَّيْخُ الْوَالِد

Sebuah julukan yang hanya kita dengar untuk alim kabir sekelas Syaikh Robi’ dan Syaikh ‘Ubaid. Tanpa hujjah dan malu, seorang ustadz yang selama ini dia kagumi dan memang masyhur sebagai seorang ustadz salafy, dia juluki dengan:
كَذَّا ب
atau: ustadz latah, dll.

Sebuah tindakan yang tidak pernah ada sebelumnya, bahkan tidak pernah dilakukan terhadap dai-dai hizbiyyin.

 نعوذ بالله من الخذلان .

Al-‘Allamah asy-Syaikh Abdur Rahman as-Sa’dy rahimahullah berkata,

 فَالدِِّينُ هُوَ دِينُ الْحِكْمَةِ الَّتِي هِيَ مَعْرِفَةُ الصَّوَابِ وَالْعَمَلُ بِالصَّوَابِ وَمَعْرِفَةُ الْحَقِِّ وَالْعَمَ لُ بِالْحَقِِّ فِي كُلِِّ شَيْ ء

“Maka agama ini adalah agama hikmah, yaitu mengenali kebenaran dan mengamalkan kebenaran, mengenali al-haq dan mengamalkan al-haq dalam segala sesuatu.” (Taisiirul Lathiif al-Mannaan hlm. 50)

Abu Muhammad ibnu Hazm rahimahullah menegaskan,

 أَفْضَلُ نِعَمِ اللهِ عَلَى الْعَبْدِ أَنْ يُطَبِِّعَهُ عَلَى الْعَدْلِ وَحُبِهِ وَعَلَى الْحَقِِّ وَإِيثَارِهِ

“Seutama-utama kenikmatan Allah atas seorang hamba adalah Allah menganugerahkan kepadanya tabiat adil dan mencintai keadilan, di atas al-haq dan mencintai al-haq.” (Mudaaraatun Nufuus hlm. 31)

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah juga menjelaskan,

 فَإِنَّ الْكَمَالَ الِْْنْسَانِيَّ مَدَارُهُ عَلَى أَصْلَيْنِ: مَعْرِفَةِ الْحَقِِّ مِنَ الْبَاطِلِ وَإِيثَارِهِ عَلَيْهِ

“Sesungguhnya kesempurnaan seorang insan porosnya di atas dua prinsip: 
  • Mengetahui yang haq dari yang batil 
  • Lebih mendahulukan al-haq atas kebatilan.”
    (Al-Jawabul Kaafy hlm. 139)
Dari penjelasan para ulama di atas dapat diambil kesimpulan ilmiah dan faedah besar yang wajib kita ilmui, kita wujudkan, dan kita amalkan:

  1. Agama Islam adalah agama hikmah, mengajarkan sikap hikmah dalam segala hal.
  2. Yang dimaksud dengan hikmah adalah mengenali al-haq dan mengamalkannya.
  3. Kewajiban mengetahui al-haq dalam segala hal untuk diyakini dan diamalkan, serta kewajiban mengenali kebatilan untuk ditinggalkan dan dijauhi.
  4. Kewajiban mendahulukan al-haq dalam segala hal atas kebatilan.
  5. Prinsip di atas merupakan nikmat dan anugerah Allah yang paling utama bagi seorang hamba.
  6. Prinsip di atas adalah lambang kesempurnaan seorang insan.
  7. Kewajiban bersikap adil dalam semua perkara.
  8. Al-haq akan membuahkan keadilan, sedangkan kebatilan akan membuahkan kezaliman. Oleh karena itulah, al-haq dan keadilan disandingkan.
Setelah uraian panjang di atas, maka saya nasihatkan kepada diri saya pribadi dan kepada segenap penuntut ilmu dan saudara-saudara semua, untuk senantiasa mengevaluasi segala ucapan dan tindakan kita agar selalu di atas al-haq dan jauh kebatilan. Manakala terjadi fitnah, perhatikan hal-hal berikut:
  • Selalu berta’awwudz (memohon perlindungan) kepada Allah dari semua fitnah, memohon keteguhan dan istiqamah. Jangan sekali-kali bersandar pada kemampuan pribadi.
  • Saat hendak bicara, mengeluarkan pernyataan, memberi komentar atau sanggahan, maka evaluasi terlebih dahulu hal-hal berikut:
    1. Apa niatan dan motivasi kita?
      Ikhlas karena Allah? Dalam rangka membela dakwah salafiyyah? Dalam rangka membela ahlul haq? Ataukah karena dendam pribadi, tendensi pribadi dan duniawi, luapan amarah dan emosi?
    2. Ilmiahkah ucapan kita?
      Pastikan ada dasarnya dalam al-Kitab, as-Sunnah dengan pemahaman salaf! Pastikan benar penafsirannya, sahih syarahnya! Semua diambil dari kitab dan uraian ulama sunnah.
    3. Sudahkah di atas bimbingan ulama?
      Minta bimbingan, baru bicara! Sampaikan dengan jujur, detail, fokus pada inti masalah dan siap menerima arahan, baik sesuai atau tidak dengan keinginan kita! Pastikan minta bimbingan ulama untuk mendapat faedah, bukan untuk mencari pembenaran!
    4. Adakah maslahatnya?
      Tidak semua yang kita tahu, bisa langsung disampaikan! Tidak semua yang kita ilmui, layak disebarkan! Yang benar-benar menghormati dakwah salafiyyah ini tidak akan berbicara kecuali yang jelas maslahatnya untuk dakwah, jelas maslahatnya untuk Ahlus Sunnah. Ucapannya tidak dijadikan senjata oleh pengusung fitnah dan ahlul bid’ah untuk menyerang dakwah salafiyyah!
    5. Semoga Allah merahmati seseorang yang mengetahui kadar dirinya.
      Bercerminlah! Siapa kita sehingga harus berkomentar?! Di mana kedudukan kita sehingga harus berdebat?!
Sungguh, memalukan dan memilukan ketika kita mendapati seseorang yang selama ini tidak dikenal kapasitas ilmunya, kredibilitas dakwahnya, dan kedalaman pemahamannya; tiba-tiba tampil dalam kancah fitnah, seolah-olah dia adalah al-Imam Ahmad atau Syaikh al-Albany, atau Syaikh Ibn Baaz, atau Syaikh Muqbil…. Atau dia berkomentar, menilai, menghukumi, menyanggah, mendebat, dll.

Sebuah fenomena dampak negatif sebuah fitnah, yang membuat miris hati!! Jangan lupa, segala sesuatunya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah!! Jangan mencari ridha manusia dengan kemurkaan Allah!! Namun, gapailah ridha Allah semata walau semua manusia memusuhi!

 نَسْألَُ اللهَ الثَّبَاتَ وَالْاِسْتِقَامَةَ عَلَى الْحَقِِّ حَتَّى نَلْقَاه . وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَى نَبِيِِّنَا مُ حَمَّ د وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ .

Sabtu, 6 Robi’ul Awwal 1439 H/25 November 2017 M
Sumber: WA Thullab Albayyinah

Download versi PDF

sesungguhnya-di-atas-al-haq-ada-cahaya
sesungguhnya-di-atas-al-haq-ada-cahaya | Sumber: Pixabay

Judul :Sesungguhnya di Atas Al Haq Ada Cahaya
Link :Sesungguhnya di Atas Al Haq Ada Cahaya

Artikel terkait yang sama:


Sesungguhnya di Atas Al Haq Ada Cahaya

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sesungguhnya di Atas Al Haq Ada Cahaya"

Posting Komentar