Dulu Teriak Bunuh Ahmadiyah, Kini Mengaku Merawat Kebhinekaan, Berubahkah Petinggi FPI Ini ?

Ikhwan Kajian yang selalu mendapat keberkahan. Informasi atau opini terkadang membuat kita berdetak kagum dan bangga dengan info tersebut. Dan tidak sadar pula kita kadang selalu terpengaruh akan kata dan bujuk rayuannya.Namuan dengan adanya Dulu Teriak Bunuh Ahmadiyah, Kini Mengaku Merawat Kebhinekaan, Berubahkah Petinggi FPI Ini ? kita bisa mencari celah kebenaranya tanpa adanya sifat menyalahkannya. Namun hanya mencari letak dasar kebenaranya itu sendiri.

Dulu Teriak Bunuh Ahmadiyah, Kini Mengaku Merawat Kebhinekaan, Berubahkah Petinggi FPI Ini ? mengajak kita untuk berfikir untuk menambah khasanah keilmuan kita.Dengan adanya kajian tentangnya kita mengerti yang benar dan yang salah.Jadikan memontum ini untuk menguatjan kita.Dan pastikan pula kita selalu mawas diri dalam menghadapi setiap problematik kehidupan kita.Dan selu berhati hati dalam menyikapi segala sesuatunya.

MusliModerat.net - Bagaimana menjelaskan perilaku yang bertentangan atau saling bertolak belakang ? Penulis merasa bingung mencermati perubahan sikap Ketua Front Pembela Islam, KH. Sobri Lubis. Dalam Milad FPI ke-19 Sabtu (19/8) kemarin, Ia mengklaim acara tersebut bertujuan untuk merawat kebhinekaan yang ada di tanah air. Penulis kemudian ingat beberapa tahun lalu, ketika Ia berteriak-teriak di mimbar mengucapkan kata-kata yang tidak pantas keluar dari seseorang yang mengaku hendak “merawat kebhinekaan.”

Jejak digitalnya masih ada dan bisa dilacak. Silakan saja cari di youtube yang bertajuk “Khotbah Yang Mencoreng Citra Islam.” Dalam sebuah rekaman video Tabligh Akbar pada 14 Februari 2008 di Kota Banjar, Jawa Barat, yang diselenggarakan oleh FPI, HTT, FUI, dan MMI, menampilkan  Abu Bakar Baasyir,  Muhammad Al Khathath, dan Ustadz Sobri Lubis. Pada kesempatan itu, rekaman video memerlihatkan ceramah yang disampaikan Ustadz Sobri Lubis. Namun, sangat disayangkan, ceramah atau tabligh yang semestinya menawarkan pencerahan dan kesejukan kepada umat yang mendengarnya justru menjadi ajang cacian kepada para pejabat negara, tokoh nasional pada saat itu, seperti Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Gus Dur.

Kedua tokoh ini dicaci karena dianggap melindungi kelompok Jema’at Ahmadiyah Indonesia (JAI). Dengan suaranya yang lantang, Sobri Lubis mengemukakan tuduhan bahwa baik Wakil Presiden (ketika Presidennya masih SBY) maupun Gus Dur berupaya melindungi Ahmadiyah karena ada maunya. Ia menuduh Gus Dur melindungi Ahmadiyah demi menjilat Barat dan menerima kucuran uang untuk kampanye Calon Presiden! Sungguh tuduhan tidak berdasar yang menjurus fitnah.

Namun, yang lebih miris dan sangat mengerikan adalah ajakan kepada para peserta tabligh akbar untuk memerangi dan membunuh Ahmadiyah, “mari kita perangi Ahmadiyah, bunuh Ahmadiyah, di manapun mereka berada, Ahmadiyah halal darahnya untuk ditumpahkan !” Begitulah ujaran Sobri Lubis yang mendaku dirinya sebagai Ustadz.

Karena kata-katanya yang provokatif kemudian di berbagai daerah kehadiran tokoh ini ditolak. Penolakan elemen masyarakat terhadap tokoh ormas-ormas semacam ini wajar karena “track record” mereka selama ini yang cenderung intoleran. Ormas semacam ini kerap melakukan persekusi. Persekusi atas nama mayoritas menimpa kelompok-kelompok minoritas. Masyarakat kita yang sejak zaman dahulu terkenal tinggi akan nilai toleransinya mulai mengalami keretakan. Beberapa provinsi bahkan selama bertahun-tahun menjadi jawara dalam hal intoleransi karena ulah ormas-ormas ini. Dan pemerintah daerahnya mendiamkan predikat buruk ini tanpa ada usaha perbaikan.

Jika ada aksi maka ada reaksi. Maka kemudian di beberapa daerah kedatangan tokoh ormas yang dianggap intoleran ditolak. Yang terbaru dan masih hangat adalah penolakan elemen-elemen masyarakat Kalimantan Barat atas kedatangan Ketua DPP FPI –salah satunya adalah KH.Sobri Lubis-  ke daerahnya. Agama pada dasarnya mengajarkan cinta kasih, kelembutan dan humanisme. Dan ini pula yang diyakini oleh Islam. Namun, apa yang dilakukan oleh gerakan atau kelompok-kelompok fundamental dan radikal intoleran justru berbanding terbalik dengan pesan-pesan agama yang otentik. Mereka merubah citra atau wajah agama menjadi tampak garang, tak toleran, dan keras.

Tapi ternyata pemerintahan Jokowi tidak tinggal diam. Melalui Perppu Nomor 2 tentang ormas, pemerintah kini tak segan untuk membubarkan ormas intoleran. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menjadi ormas pertama yang dibubarkan. Betapapun kehadiran Perppu ini menimbulkan pro dan kontra, namun ini adalah langkah tegas pertama yang dilakukan negara terhadap ormas-ormas intoleran. Sebab kehadiran ormas semacam ini tidak boleh dibiarkan tumbuh subur di Nusantara. Keragaman dan kebhinekaan adalah pondasi yang harus kokoh dan tidak boleh tergerus oleh ideologi yang ingin memecah persatuan.


Lalu bagaimana dengan Front Pembela Islam ? Baru belakangan, penulis mencermati perubahan sikap dari FPI dan tokoh-tokohnya. Mereka akhir-akhir ini kerap mendengungkan masalah NKRI, Pancasila bahkan kebhinekaan. Benarkah mereka sudah berubah ?Tapi, ya sudahlah. Sebagai seorang muslim kita dituntut untuk selalu bersikap husnudzon atau berprasangka baik. Mungkin tokoh yang bersangkutan sudah mengalami transformasi. Apa yang dahulu diucapkan belum tentu mencerminkan pribadi yang sekarang. Dus, apa salahnya kita mengikuti sepak terjangnya ? Mungkin Beliau dan organisasi yang dipimpinnya berubah menjadi lebih baik. Semoga saja.


sumber : https://youtu.be/U7RLCXNdKF4
Dishare dari seword.com

Judul :Dulu Teriak Bunuh Ahmadiyah, Kini Mengaku Merawat Kebhinekaan, Berubahkah Petinggi FPI Ini ?
Link :Dulu Teriak Bunuh Ahmadiyah, Kini Mengaku Merawat Kebhinekaan, Berubahkah Petinggi FPI Ini ?

Artikel terkait yang sama:


Dulu Teriak Bunuh Ahmadiyah, Kini Mengaku Merawat Kebhinekaan, Berubahkah Petinggi FPI Ini ?

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Dulu Teriak Bunuh Ahmadiyah, Kini Mengaku Merawat Kebhinekaan, Berubahkah Petinggi FPI Ini ?"

Posting Komentar