Ada Kurawa di Istana
Opini Bangsa - “Kita semua tidak mau Indonesia mengalami nasib seperti Astina, yang setelah ditinggalkan Pandawa dikuasai oleh Kurawa. Jangan serahkan Indonesia pada Kurawa,” kata ekonom senior Rizal Ramli saat memberi sambutan pada acara Halal Bihalal di kantornya, bilangan Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (5/7/2017).
Selepas shalat maghrib berjamaah, lelaki yang pernah menjadi Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid itu mengutip kisah Mahabrata. Yudistira adalah tokoh berkarakter pemimpin yang bijaksana. Tetapi ada saatnya dia keliru, termasuk ketika meladeni tantangan Kurawa untuk bermain judi.
Perjudian sulung Pandawa itu ternyata tidak main-main. Selain fulus, Bima, Arjuna, dan si kembar Nakula-Sadewa pun dipertaruhkan. Bahkan Drupadi, istrinya pun jadi taruhan. Terakhir, Yudistira menjadikan negeri Astina sebagai taruhan. Kisah berakhir dengan tragis. Pandawa kalah berjudi. Istana menjadi milik Kurawa. Pandawa terusir dari Astina harus berkelana di hutan belantara.
Rizal Ramli tengah bertamsil. Bangsa ini, kata dia, mengalami apa yang terjadi pada Pandawa, yaitu berjudi dengan taruhan yang amat mengerikan. Perjudian pertama terjadi saat Pilkada DKI silam. Pemihakan pada para kandidat menyebabkan warga Jakarta khususnya dan rakyat Indonesia umumnya terpolarisasi amat tajam. Kegaduhan sangat luar biasa terjadi dan nyaris menyulut konflik horisontal secara massal.
Perjudian kedua, adalah membiarkan perkara ekonomi negeri ini terus-menerus ditangani para menteri pengusung mazhab neolib. Padahal, selama nyaris 72 tahun Indonesia merdeka, penerapan ekonomi neolib telah terbukti gagal mengangkat kesejahteraan mayoritas rakyat Indonesia. Neoliberalisme justru menjadi pintu gerbang bagi masuknya neokolonialisme.
Lelaki yang pernah menjadi penasehat ekonomi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) bersama tiga pemenang Nobel ekonomi itu memang menyebut yang kini tengah berjudi adalah bangsa Indonesia. Tapi, tentu saja publik paham, bahwa tanggung jawab utama berada di tangan Presiden selaku Kepala Negara sekaligus kepala pemerintahan.
Saya lebih suka menyebut yang tengah berjudi adalah Presiden Jokowi. Pada pertaruhan pertama saat Pilkada DKI, publik sudah mencapai titik haqqul yaqin, bahwa Istana membela dan melindungi Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Untungnya Allah Yang Maha Penyayang masih menyelamatkan Jakarta dan Indonesia. Ahok kalah di Pilkada. Di pengadilan, dia juga divonis dua tahun penjara karena kasus penistaan agama yang dilakukannya. Alhamdulillah…
Di ujung tanduk?
Jokowi yang modal sosial dan politiknya nyaris ludes karena kasus Ahok, bisa dikatakan kini berada di ujung tanduk. Pasalnya, dia masih saja menyerahkan urusan ekonomi kepada para menterinya yang menjadi komparador juragan neolib. Inilah pertaruhan kedua, di sektor ekonomi.
Paham neolib yang dengan konsisten diterapkan melahirkan kebijakan konstraksi habis-habisan alias austerity policy di saat ekonomi melemah. Pememotongan anggaran tahun lalu saja mencapai Rp133,8 triliun. Padahal, pemotongan anggaran hanya bagus di mata internasional (baca: World Bank, IMF, ADB, dan para konconya). Kenapa? Dengan memotong anggaran, nilai aset di dalam negeri, bakal stagnan. Bahkan bisa turun. Nah, saat itulah investor getol belanja aset di sini.
Pemotongan anggaran memang memberi ruang fiskal lebih luas kepada APBN. Tapi kelonggaran ini dimanfaatkan untuk membayar bunga dan pokok utang luar negeri. Tentu saja, para bond holder bersorak-sorai karenanya. Apalagi Menkeu memang sangat dikenal rajin mengobral bunga supertinggi tiap kali obligasi yang diterbitkan negeri ini.
Ideologi neolib pula yang menentukan gunting tajam anggaran harus memotong berbagai alokasi dana untuk pembangunan dan subsidi sosial. Berbagai subsidi langsung dikurangi atau bahkan dihapuskan. Dampaknya, beban rakyat kian berat. BBM naik, listrik naik, gas naik.
Di mata kaum neolib, subsidi adalah pendistorsi ekonomi. Subsidi jadi barang haram yang amat tabu diterapkan. Karenanya subsidi harus ditekan serendah mungkin, jika bisa mencapai titik nol. Singkirkan jauh-jauh tangan pemerintah dari kegiatan ekonomi. Serahkan saja segala sesuatunya pada mekanisme pasar. Biarkan pasar yang kelak akan mencari ekuilibriumnya sendiri. Kalau karena doktrin ini rakyat terkapar, itu adalah risiko yang harus dibayar. Titik!
Pertanyaan, kenapa harus rakyat yang dijadikan korban? Mengapa yang dipangkas bukan anggaran untuk membayar bunga dan pokok utang? Sampai berapa lama APBN harus menggelontorkan duit sekitar Rp60 triliun per tahun untuk membayar bunga obligasi Bantuan Likuidtas Bank Indonesia (BLBI) akibat bank-bank dirampok para pemiliknya sendiri?
Sekarang bandingkan dengan alokasi duit yang disiapkan untuk membayar utang di APBN 2016 dan 2017. Pada APBN 2017, ada Rp 221 triliun untuk membayar utang! Dahsyat kan? Sisanya untuk membiayai belanja rutin pemerintah yang terus saja menggembung. Padahal untuk itu, rakyat diperas dengan kenaikan harga berbagai barang dan jasa kebutuhan dasar serta pajak yang kian mencekik.
Seharusnya, saat ekonomi lesu, pemerintah harus mengambil langkah counter cyclical policies. Yaitu, kebijakan fiskal yang pada intinya meningkatkan pengeluaran (ekspansi) dan memotong pajak-pajak selama resesi. Langkah inilah yang diterapkan negara-negara besar seperti Amerika, Jepang, dan Cina biasanya memompa ekonominya dengan kebijakan fiskal dan moneter.
Sebagai ibu kandung paham kapitalisme dan neoliberalisme, Amerika bahkan tidak segan-segan mencetak uang banyak-banyak untuk memompa ekonominya. Masih ingat kebijakan quantitative easing/QE-nya Amerika? The Fed rajin belanja obligasi pemerintah, menurunkan suku bunga, dan meningkatkan pasokan uang. Sejak 2008, sekitar US$4 triliun digelontorkan ke pasar. Hasilnya, mantap. AS berhasil keluar dari krisis pada 2009. Lalu secara bertahap Negeri Paman Sam itu mulai menerapkan tapering policy, karena dianggap ekonomi sudah mulai pulih.
Sampai di sini mestinya Jokowi sadar, bahwa berbagai kebijakan tim ekonominya bertabrakan dengan Nawacita dan Trisakti yang jadi jualannya saat ampanye Pilpres 2014 silam. Sari pati Nawacita dan Trisakti adalah keberpihakan kepada mayoritas rakyat. Nah, keberpihakan inilah yang tidak mendapat tempat di benak para menteri komparador neolib.
Inilah yang dimaksud dengan pertaruhan kedua. Pilpres bakal digelar 2019. Hanya sedikit waktu tersisa untuk menyelamatkan singgasana kepresidenan. Kalau perjudian terus dilanjutkan, bukan mustahil Jokowi akan terlempar dari istana karena keok di Pilpres. Rakyat yang dulu berharap pada sosok sederhana dan tidak neko-neko itu bakal kecewa berat. Kebijakan ekonomi sang pengibar Nawacita dan Trisakti Bung Karno ternyata tunduk pada kehendak majikan para antek neolib.
Kini saatnya Presiden memenuhi janji-janji Nawacita dan Trisakti. Pemangkasan anggaran, pengurangan dan pencabutan berbagai subsidi, dan pengenaan pajak yang kalap rakyat jelas bukan perkara remeh. Semua itu bisa mengancam perolehan suara dari lumbung-lumbung suara pendukung Jokowi.
Baiklah. Mungkin saja Jokowi tidak peduli dengan Pilpres 2019. Karena dia, misalnya, tidak lagi berminat melanjutkan periode kedua. Tapi kita berharap sebagai negarawan Jokowi tidak meninggalkan Istana dengan warisan ekonomi amburadul karena tim ekonominya adalah para pengabdi kepentingan asing.
Jadi, tuan Presiden, berhentilah berjudi. Selagi masih ada waktu, segera buang para Kurawa yang kini bercokol di Istana. Jangan sampai pada 2019 mereka yang memerintah atas nama para majikan asing di luar negeri sana…
Jakarta, 6 Juli 2017
Edy Mulyadi
Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS) [
opinibangsa.id /
sic]
0 Response to "Ada Kurawa di Istana"
Posting Komentar