Anton Tabah: Jangan Salah Maknai Sara, Makar dan Intoleransi

Ikhwan Kajian yang selalu mendapat keberkahan. Informasi atau opini terkadang membuat kita berdetak kagum dan bangga dengan info tersebut. Dan tidak sadar pula kita kadang selalu terpengaruh akan kata dan bujuk rayuannya.Namuan dengan adanya Anton Tabah: Jangan Salah Maknai Sara, Makar dan Intoleransi kita bisa mencari celah kebenaranya tanpa adanya sifat menyalahkannya. Namun hanya mencari letak dasar kebenaranya itu sendiri.

Anton Tabah: Jangan Salah Maknai Sara, Makar dan Intoleransi mengajak kita untuk berfikir untuk menambah khasanah keilmuan kita.Dengan adanya kajian tentangnya kita mengerti yang benar dan yang salah.Jadikan memontum ini untuk menguatjan kita.Dan pastikan pula kita selalu mawas diri dalam menghadapi setiap problematik kehidupan kita.Dan selu berhati hati dalam menyikapi segala sesuatunya.



Wakil Ketua Komisi Hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Anton Tabah Digdoyo mengingatkan pemerintah agar tidak keliru memaknai intoleransi, sara dan makar.

"Contoh, memilih pemimpin di mayoritas muslim harus seiman seakidah itu bukan intoleransi, karena kitab suci Al-Quran memerintahkan seperti itu," kata Anton pensiunan polisi dengan pangkat terakhir Brigadir Jenderal ini, Sabtu (3/6).

Menurutnya, apa yang diperintah kitab suci harus ditaati dan itu sesuai amanah UUD 1945 Pasal 28 dan 29, negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan umat harus taat pada ajaran agamanya.

"Demikian pula masalah Ahok, rakyat Indonesia tidak memilih, tidak suka Ahok bukan karena dia China. Tapi karena dia buruk perangai, buruk kata, tidak cocok dengan karakter bangsa Indonesia yang santun dan halus," ujar Anton.

Ia juga mengingatkan pemerintah untuk tidak mudah menuduh para ulama dan tokoh aktivis berbuat makar hanya karena unjuk rasa dengan jutaan rakyat.

"Unjuk rasa itu hak sah menurut konstitusi dan dijamin UU. Apalagi itu dilakukan dengan tertib bahkan tidak sehelai rumput pun rusak sehingga dikagumi dunia," ungkapnya.

Soal UU Terorisme yang sedang dibahas di DPR, Anton menilai tidak perlu dilakukan revisi, karena selain tidak mudah juga lama bertele-tele.

Ia mengusulkan itu dilakukan dengan keputusan politik. Keputusan politik akan lebih mudah dan cepat. Apalagi akan melibatkan militer, cukup dengan persetujuan DPR, Presiden dan Menteri Pertahanan, dan berlaku maksimal dua tahun. Dan jika masih diperlukan bisa diperpanjang dua tahun lagi.

"Pelibatan militer ke otoritas sipil tiddk boleh dengan UU karena UU itu bersifat permanen. Sekecil apapun pelibatan militer ke otoritas sipil harus dengan keputusan politik yang bersifat sementara bukan permanen," tegas Anton.

Demikian juga dalam menghadapi Imam Besar FPI M. Rizieq Shihab. Menurut Anton, pemerintah mesti bijak jangan sampai rakyat menilai kasus yang menjerat Rizieq terkesan mengada-ngada.

Jelas Anton, pemerintah tidak sadar telah mejadikan Rizieq tokoh paling menentukan bangkitnya kedasaran moral politik umat Islam. Bahkan opini yang berkembang di rakyat bahwa pemerintah telah memposisikan diri sebagai anti umat Islam. Rizieq dan para ulama memainkan peran karakter paduan Pangeran Diponegoro, Teuku Umar, Sultan Hasanuddin, Bung Tomo, Jendral Soedirman dan lain sebagainya.

"Konstalasi ini bis melahirkan kebangkitan nasional jilid II yang tidak bisa dibendung," demikian Anton Tabah Digdoyo. [rmol]

Judul :Anton Tabah: Jangan Salah Maknai Sara, Makar dan Intoleransi
Link :Anton Tabah: Jangan Salah Maknai Sara, Makar dan Intoleransi

Artikel terkait yang sama:


Anton Tabah: Jangan Salah Maknai Sara, Makar dan Intoleransi

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Anton Tabah: Jangan Salah Maknai Sara, Makar dan Intoleransi"

Posting Komentar