Ikhwan Kajian yang selalu mendapat keberkahan. Informasi atau opini terkadang membuat kita berdetak kagum dan bangga dengan info tersebut. Dan tidak sadar pula kita kadang selalu terpengaruh akan kata dan bujuk rayuannya.Namuan dengan adanya Bagaimana Sikap Kita terhadap Para Wali dan Sufi Kontroversial-Nyeleneh? kita bisa mencari celah kebenaranya tanpa adanya sifat menyalahkannya. Namun hanya mencari letak dasar kebenaranya itu sendiri.
Bagaimana Sikap Kita terhadap Para Wali dan Sufi Kontroversial-Nyeleneh? mengajak kita untuk berfikir untuk menambah khasanah keilmuan kita.Dengan adanya kajian tentangnya kita mengerti yang benar dan yang salah.Jadikan memontum ini untuk menguatjan kita.Dan pastikan pula kita selalu mawas diri dalam menghadapi setiap problematik kehidupan kita.Dan selu berhati hati dalam menyikapi segala sesuatunya.
Beberapa kalimat ini mungkin menjadi “masalah”, yaitu “subhâni”, “anal haq”, “mâ fil jubbah illallâh”. Berikut ini kami kutipkan syair Hamzah Fansuri.
"Ombaknya zahir lautnya batin//Keduanya wahid tiada berlain
Menjadi tawfan hujan dan angin//Wahid-nya juga harakat dan sakin," (Lihat edisi teks Drewes & Brakel, The Poems of Hamzah Fansoeri, 1986: 126).
Atau
"Kuntu kanzan mulanya nyata//Hakikat ombak di sana ada
Adanya itu tiada bernama//Majnun dan Layla ada di sana," (Lihat edisi teks Drewes & Brakel, The Poems of Hamzah Fansoeri, 1986: 128).
Atau yang cukup populer yaitu,
"Hamzah Fansuri di dalam Mekkah//Mencari Tuhan di Baitul Ka‘bah
Dari Barus ke Kudus terlalu payah//Akhirnya ditemukan pada di dalam rumah."
Menurut hemat kami, sebagai orang awam kita sebaiknya tidak perlu mengambil posisi dukungan atau berseberangan atas pernyataan “kontroversial” para sufi itu. Lain soal untuk kepentingan ilmiah. Kepentingan ilmiah harus terus berjalan. Untuk kepentingan ilmiah bisa saja kita mengkaji pernyataan dan ekspresi verbal mereka menurut tatacara ilmiah.
Tetapi sebagai orang yang datang kemudian, sebaiknya kita menghormati mereka sebagai guru spiritual atau sebagai manusia dengan penjelajahan luar biasa dalam “menemukan” Allah sang pencipta. Hal ini menunjukkan rasa rindu mereka terhadap Zat hakiki.
Hemat kami, penghormatan terhadap mereka sebaiknya yang lebih ditonjolkan. Hal ini ditunjukkan oleh Imam An-Nawawi ketika ditanya pandangannya soal paham kontroversial Ibnul Arabi yang hidup seabad sebelumnya.
Artinya, “Adapun bentuk penghormatan (kita) terhadap orang terdahulu–mereka yang dimaksud adalah para sahabat rasul, tabi‘in, para wali, orang-orang saleh, dan ulama–adalah hanya menyebut kebaikan mereka dan mengambil madzhab (jalan atau pandangan) terbaik dari mereka. Imam An-Nawawi–Allah yarhamuh–ketika ditanya sikapnya terhadap pandangan Ibnul Arabi (yang wafat lebih dulu) menjawab dengan bijak, ‘Perkataan (Ibnul Arabi) adalah perkataan kalangan sufi. Ia termasuk umat terdahulu. Mereka akan menerima jerih payah mereka. Begitu juga kalian. Kalian akan menerima jerih payah kalian. Kalian takkan diminta pertanggungjawaban atas jerih payah mereka.’ Salah satu bentuk penghormatan (kita) untuk mereka adalah permohonan ampunan dan ridha Allah untuk mereka. Allah berfirman, ‘Orang-orang beriman yang datang sepeninggal mereka berdoa, ‘Tuhan kami, ampunilah kami dan orang-orang beriman yang telah mendahului kami,’’” (Lihat Syekh Ibnu Ajibah Al-Hasani, Al-Futuhatul Ilahiyyah fi Syarhil Mabahitsil Ashliyyah, Beirut, Darul Fikr, tanpa tahun, halaman 263).
Saran kami, kita hendaknya berhati-hati sekali dalam membahas kembali karya atau pernyataan kontroversial mereka agar kita tidak menaruh su’uzhan terhadap orang-orang mulia yang telah mendahului kita.
Link :Bagaimana Sikap Kita terhadap Para Wali dan Sufi Kontroversial-Nyeleneh?
0 Response to "Bagaimana Sikap Kita terhadap Para Wali dan Sufi Kontroversial-Nyeleneh?"
Posting Komentar