Ikhwan Kajian yang selalu mendapat keberkahan. Informasi atau opini terkadang membuat kita berdetak kagum dan bangga dengan info tersebut. Dan tidak sadar pula kita kadang selalu terpengaruh akan kata dan bujuk rayuannya.Namuan dengan adanya Nabi Kita, Rasulullah Kaya atau Miskin? kita bisa mencari celah kebenaranya tanpa adanya sifat menyalahkannya. Namun hanya mencari letak dasar kebenaranya itu sendiri.
Nabi Kita, Rasulullah Kaya atau Miskin? mengajak kita untuk berfikir untuk menambah khasanah keilmuan kita.Dengan adanya kajian tentangnya kita mengerti yang benar dan yang salah.Jadikan memontum ini untuk menguatjan kita.Dan pastikan pula kita selalu mawas diri dalam menghadapi setiap problematik kehidupan kita.Dan selu berhati hati dalam menyikapi segala sesuatunya.
APAKAH NABI KITA HIDUP KAYA ATAU MISKIN?
Periode kehidupan Nabi pernah diwarnai kecukupan bahkan kelebihan, namun juga pernah mengalami masa-masa kekurangan, dan kemiskinan. Saat kecil hingga meninggal, nuansa warna itu bercorak dalam kehidupan beliau.Saat diasuh kakeknya, Abdul Muththolib, kehidupan beliau relatif berkecukupan. Abdul Muththolib dikenal kaya raya.
Saat diasuh Abu Tholib, sang paman, beliau hidup dalam kemiskinan. Karena secara finansial Abu Tholib memang kekurangan.
Khodijah radhiyallahu anha, istri Nabi yang pertama, adalah seorang wanita kaya raya dan mulia. Banyak membantu Nabi dengan hartanya.
Namun, tidak sedikit periode kehidupan Nabi setelahnya yang diwarnai dengan kekurangan secara finansial, miskin. Tapi itu terjadi karena Nabi memilih demikian.
Jika Nabi mau, bisa saja Allah memperjalankan gunung-gunung emas dan perak bersama beliau:
وَاللهِ يَا عَائِشَةَ ! لَوْ شِئْتُ لَأَجْرَى اللهُ مَعِي جِبَالَ الذَّهَبِ وَ الْفِضَّةِ
Demi Allah wahai Aisyah, kalau aku mau, Allah bisa memperjalankan bersamaku gunung-gunung emas dan perak (H.R Ibnu Sa’ad dalam Thobaqot – Silsilah asShahihah)
Seandainya Nabi memiliki emas sebanyak atau sebesar gunung Uhud, beliau akan membagi-bagikannya sebagai infaq di jalan Allah. Hingga setelah berlalu hari yang ke-3, yang tersisa hanyalah dinar yang dipersiapkan untuk membayar hutang.
مَا يَسُرُّنِى أَنَّ لِى أُحُدًا ذَهَبًا تَأْتِى عَلَىَّ ثَالِثَةٌ وَعِنْدِى مِنْهُ دِينَارٌ إِلاَّ دِينَارٌ أُرْصِدُهُ لِدَيْنٍ عَلَىَّ
Tidaklah membuatku senang, jika aku memiliki emas sebesar Uhud, kemudian datang hari yang ketiga, sedangkan aku masih memiliki dinar (uang emas). Kecuali dinar itu aku persiapkan untuk membayar hutangku (H.R Muslim)
Tapi memang kehidupan Nabi bersama para istri beliau di Madinah, banyak diwarnai kekurangan secara finansial.
Pernah selama tidak kurang 2 bulan berturut-turut tidak ada makanan yang bisa dipanggang, dimasak, atau direbus di atas tungku api. Hanya makan kurma dan minum air saja. Silakan disimak kisah ibunda kaum beriman, Aisyah radhiyallahu anha:
وَاللَّهِ يَا ابْنَ أُخْتِي إِنْ كُنَّا لَنَنْظُرُ إِلَى الْهِلَالِ ثُمَّ الْهِلَالِ ثُمَّ الْهِلَالِ ثَلَاثَةَ أَهِلَّةٍ فِي شَهْرَيْنِ وَمَا أُوقِدَ فِي أَبْيَاتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَارٌ قَالَ قُلْتُ يَا خَالَةُ فَمَا كَانَ يُعَيِّشُكُمْ قَالَتْ الْأَسْوَدَانِ التَّمْرُ وَالْمَاءُ
Demi Allah wahai putra saudariku, kami pernah melihat hilal kemudian hilal kemudian hilal. Tiga hilal dalam 2 bulan. Tidak ada sesuatu (bahan makanan) yang dimasak (di atas api) di rumah-rumah Rasulullah shollallahu alaihi wasallam. Aku (Urwah) berkata: Wahai bibi, dengan apa kalian hidup? Aisyah mengatakan: al-Aswadaan: kurma dan air (H.R al-Bukhari dan Muslim)
Nabi pernah masuk di pagi hari ke rumah Aisyah dan bertanya: Apakah ada makanan? Aisyah menjawab: Tidak ada. Nabi menyatakan: Kalau begitu, aku berpuasa (H.R Muslim)
Rumah yang ditinggali Aisyah demikian sempit. Hanya satu kamar yang cukup untuk tidur berdua. Saat Nabi sholat malam, Aisyah masih tidur di depan beliau, tidak memungkinkan untuk Nabi bersujud karena terhalang kaki Aisyah. Maka Nabi pun menyentuh kaki Aisyah memberi isyarat agar ditarik, sehingga Nabi bisa meletakkan dahi beliau. Rumah beliau juga gelap tanpa penerangan.
Aisyah radhiyallahu anha berkata:
...وَرِجْلَايَ فِي قِبْلَتِهِ فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي فَقَبَضْتُ رِجْلَيَّ وَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهُمَا قَالَتْ وَالْبُيُوتُ يَوْمَئِذٍ لَيْسَ فِيهَا مَصَابِيحُ
...dan kedua kakiku berada di kiblat beliau. Jika beliau akan sujud, beliau menyentuh aku sehingga aku tarik kakiku. Jika beliau berdiri, aku menjulurkan kedua kaki lagi. Pada waktu itu rumah-rumah (istri Nabi) tidak memiliki lampu (H.R Muslim)
Nabi shollallahu alaihi wasallam meninggal dunia dalam keadaan baju perang beliau tergadaikan pada seorang Yahudi, untuk mendapatkan 30 sho’ gandum sebagai makanan sehari-hari.
تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدِرْعُهُ مَرْهُونَةٌ عِنْدَ يَهُودِيٍّ بِثَلَاثِينَ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ
Rasulullah shollallahu alaihi wasallam meninggal dunia dalam keadaan baju besi beliau tergadaikan pada seorang Yahudi dengan imbalan 30 sho’ gandum (H.R al-Bukhari).
Nabi kita adalah teladan dalam berbagai keadaan. Saat beliau berkecukupan, kehidupannya adalah teladan. Saat beliau kekurangan, beliau juga uswah. Saat senang atau sedih. Dalam seluruh sendi kehidupan.
Kekayaan bukanlah tercela, jika digunakan di jalan Allah. Kemiskinan bukanlah hina, jika dijalani dengan kesabaran dan iffah.
Sahabat Nabi ada juga yang kaya, namun lebih banyak lagi yang miskin. Mereka semua adalah teladan pula dalam kebaikan.
Para Ulama berbeda pendapat tentang manakah yang lebih utama antara orang kaya yang bersyukur atau orang miskin yang bersabar. Namun kesimpulan pendapat yang rajih – insyaAllah- yang terbaik adalah orang yang berbuat secara benar sesuai keadaan dia saat itu. Jika ia ditakdirkan kaya, ia bersyukur. Jika ia ditakdirkan miskin, ia bersabar.
Mungkin saat ini kita kaya, bukan berarti sisa kehidupan kita akan terus demikian. Mungkin juga saat ini kita kekurangan, bukan berarti episode hidup tersebut akan berlanjut demikian tanpa henti.
Bersikaplah dalam bimbingan Sunnah Nabi. Jika miskin, jangan iri dengki pada yang kaya. Turut bersyukur saudara kita berkelimpahan. Kita senang sebagaimana saudara kita merasakan kesenangan itu. Jika kaya, jangan pelit berbagi dengan sesama. Jangan merasa lebih tinggi dan mulia di sisi Allah dibandingkan yang miskin.
Yang kaya jangan merasa bangga dengan memiliki keutamaan melebihi yang lain pada hari kiamat. Kalaupun kita ditakdirkan meninggal dalam keadaan kaya, ingatlah, bisa jadi seandainya pun kita diberi rahmat Allah ke dalam Surga-Nya, proses menuju ke dalamnya tidaklah dalam waktu yang singkat. Orang-orang miskin yang beriman akan lebih dahulu masuk jauh sebelum kita. Karena orang kaya masih sibuk mempertanggungjawabkan dari mana hartanya didapat, ke mana disalurkan.
يَدْخُلُ الْفُقَرَاءُ الْجَنَّةَ قَبْلَ الْأَغْنِيَاءِ بِخَمْسِ مِائَةِ عَامٍ نِصْفِ يَوْمٍ
Orang-orang fakir masuk ke Surga sebelum orang-orang kaya sejauh 500 tahun, (yaitu) setengah hari (di akhirat, pent) (H.R at-Tirmidzi)
قُمْتُ عَلَى بَابِ الْجَنَّةِ فَكَانَ عَامَّةَ مَنْ دَخَلَهَا الْمَسَاكِينُ وَأَصْحَابُ الْجَدِّ مَحْبُوسُونَ
Aku berdiri di dekat pintu Surga, mayoritas orang yang memasuki Surga adalah orang-orang miskin, sedangkan orang-orang kaya tertahan (untuk hisab) (H.R al-Bukhari dan Muslim dari Usamah)
Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan pertolongan, taufiq, dan kemudahan pada segenap kebaikan dalam sisa kehidupan kita...
(Abu Utsman Kharisman)
WA al I'tishom
Foto: Paprik | Sumber : Pixabay |
Link :Nabi Kita, Rasulullah Kaya atau Miskin?
0 Response to "Nabi Kita, Rasulullah Kaya atau Miskin?"
Posting Komentar