Setelah kunjungan perdana tersebut, pada bulan Maret 2015 silam, beberapa ulama Afganistan berkunjung lagi ke Indonesia. Kali ini PWNU Jawa Tengah menjadi tempat belajar. Di sana, mereka mendiskusikan banyak hal dengan jajaran pengurus PWNU Jawa Tengah. Termasuk pada upaya perdamaian di negaranya yang mulai terwujud—di antaranya melalui pemilu—meski beberapa kali diganggu oleh aksi Taliban, dan saat ini mulai muncul ISIS.
Selain itu, mereka juga belajar bagaimana mendialogkan antara agama dan negara, sebab di negaranya, pihak-pihak yang bertikai masih saja berkutat soal benturan ideologis dan tarik menarik antara wilayah agama dan kewenangan negara. Tak ada titik temu. Bagi mereka, NU memikat karena organisasi inilah yang pada tahun 1983 “menyudahi” perdebatan seputar hubungan Islam dan negara, serta pada tahun 2006 merumuskan konsepsi NKRI sebagai sesuatu yang sudah final.
Dalam Munas Alim Ulama NU di Situbondo, 21 Desember 1983, ketika masih banyak yang meragukan komitmen NU dan umat Islam dalam bernegara, serta di saat Pancasila hanya menjadi tameng sekaligus “alat gebuk”-nya Pak Harto, NU berusaha mendudukkan kembali hakikat Pancasila dalam sebuah deklarasi hubungan Islam dan Pancasila yang berbunyi, “Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.” Selain itu, terdapat pula kalimat yang termuat dalam butir keempat dalam rumusan tersebut, “Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya”.
Dalam kacamata historis-sosiologis, menurut KH. Achmad Siddiq, Rais Aam Syuriah PBNU (1984-1991), NKRI yang berdasarkan Pancasila dipandang sebagai wasilah (sarana) untuk mewujudkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Selain itu, Pancasila bisa diterima karena fungsinya sebagai mu’ahadahatau mitsaq, sebuah kesepakatan antara umat Islam dengan golongan lain di Indonesia untuk mendirikan Negara. Oleh karena itu, NKRI merupakan upaya final yang bisa dicapai dalam kesepakatan seluruh bangsa, termasuk kaum muslimin, untuk mendirikan negara di wilayah nusantara. Ini berarti pengakuan bahwa negara ini didirikan dengan kesepakatan atau mitsaqantara umat Islam dengan golongan lain. Sebagai mitsaq, sejauh hal itu bisa dicapai, umat Islam bertanggungjawab, demikian pula kelompok lain, untuk memegang teguh kesepakatan itu (Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik, hlm. 345).
Melihat kondisi Afganistan, Libya, Suriah, dan Somalia yang tercabik perang saudara, kita bersyukur apabila sampai saat ini Indonesia masih damai. Pancasila sebagai falsafah kehidupan berbangsa dan bernegara masih relevan sebagai pemersatu dan pengikat keberadaan banyak agama, etnis, dan golongan di negara kita. Indonesia memang bukan sebuah negara sempurna, namun tetap harus dijaga keberlangsungannya. Sebab, tegaknya Indonesia adalah bagian dari wasilah alias sarana membumikan nilai-nilai Islam serta menjadi sebuah wadah tempat umat Islam dan umat beragama lain menjalankan agamanya secara damai dan nyaman.
Namun di saat Afghanistan ingin belajar menjaga perdamaian dari Indonesia, sebaliknya ada orang Indonesia yang seperti sudah capek hidup damai. Mereka ingin berperang. Langkah awalnya membuang Pancasila dan menaburkan benih-benih ekstrimisme. Yang capek berperang ingin damai, yang sudah hidup dalam kedamaian malah ingin perang saudara!
Wallahu A’lam Bisshawab
*) Rijal Mumazziq Z; via Islami.co
Ketua Lembaga Ta’lif Wan Nasyr PCNU Kota Surabaya
0 Response to "Afghanistan Belajar dari NU agar Damai, Indonesia Belajar Konflik"
Posting Komentar