Pandangan Syari'at Terhadap Banci

Ikhwan Kajian yang selalu mendapat keberkahan. Informasi atau opini terkadang membuat kita berdetak kagum dan bangga dengan info tersebut. Dan tidak sadar pula kita kadang selalu terpengaruh akan kata dan bujuk rayuannya.Namuan dengan adanya Pandangan Syari'at Terhadap Banci kita bisa mencari celah kebenaranya tanpa adanya sifat menyalahkannya. Namun hanya mencari letak dasar kebenaranya itu sendiri.

Pandangan Syari'at Terhadap Banci mengajak kita untuk berfikir untuk menambah khasanah keilmuan kita.Dengan adanya kajian tentangnya kita mengerti yang benar dan yang salah.Jadikan memontum ini untuk menguatjan kita.Dan pastikan pula kita selalu mawas diri dalam menghadapi setiap problematik kehidupan kita.Dan selu berhati hati dalam menyikapi segala sesuatunya.

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat para lelaki mukhannats dan para wanita mutarajjilah. Kata beliau, ‘Keluarkan mereka dari rumah kalian’, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusir Si Fulan, sedangkan Umar mengusir Si Fulan.” (HR Al-Bukhari, no. 5886)


Salah satu kebanggaan kita sebagai kaum Muslimin ialah syariat Islam itu sendiri. Kita bangga karena memiliki syariat paling lengkap di dunia. Syariat yang mengatur segalanya, dari perkara yang paling besar hingga yang paling sepele. Semua yang menyangkut kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat tak lepas dari tinjauan syariat. Laki-laki, perempuan, tua, muda, besar, kecil, penguasa, rakyat jelata; semuanya diatur secara adil dan bijaksana. Bahkan kaum banci pun tak lepas dari pembahasan.

Benar, kaum banci yang sering menjadi ledekan dan bahan tertawaan, ternyata tidak diabaikan oleh syariat begitu saja, sebab ia juga manusia mukallaf sebagaimana lelaki dan wanita normal. Karenanya, dalam fiqih Islam, kita mengenal istilah mukhannats (banci/bencong), mutarajjilah (wanita yang kelelakian), dan khuntsa (interseks/berkelamin ganda).

Masing-masing dari istilah ini memiliki definisi dan konsekuensi berbeda. Akan tetapi, dua istilah yang pertama biasanya berkonotasi negatif, baik di mata masyarakat maupun syariat. Sedangkan yang ketiga belum tentu demikian.

Untuk lebih jelasnya, perlu diperhatikan definisi para ulama tentang banci dan waria, berangkat dari hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari berikut :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: لَعَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالمُتَرَجِّلاَتِ مِنَ النِّسَاءِ، وَقَالَ: «أَخْرِجُوهُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ قَالَ: فَأَخْرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فُلاَنًا، وَأَخْرَجَ عُمَرُ فُلاَنًا

Dari Ibnu Abbas, katanya, "Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat para lelaki mukhannats dan para wanita mutarajjilah. Kata beliau, ‘Keluarkan mereka dari rumah kalian’, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusir Si Fulan, sedangkan Umar mengusir Si Fulan.” (HR Al-Bukhari, no. 5886)

Dalam riwayat lain disebutkan:

،لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ المُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بالنِّسَاءِ والمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بالرِّجَالِ

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat para lelaki yang menyerupai wanita, dan para wanita yang menyerupai laki-laki. (HR. Al-Bukhari, no. 5885)

Riwayat yang kedua ini menafsirkan tentang yang dimaksud dengan mukhannats dan mutarajjilah dalam hadits yang pertama. Sehingga menjadi jelas bahwa yang dimaksud mukhannats adalah laki-laki yang menyerupai perempuan, baik dari cara berjalan, cara berpakaian, gaya bicara, maupun sifat-sifat feminin lainnya. Sedangkan mutarajjilah adalah wanita yang menyerupai laki-laki dalam hal-hal tersebut. (Mu’jam Lughatil Fuqaha’, 1/417)

Secara bahasa, kata mukhannats berasal dari kata dasar khanitsa-yakhnatsu. Artinya, berlaku lembut. Dari istilah umum tersebut, maka istilah banci, bencong, waria cocok untuk mengartikan mukhannats. Sedangkan untuk istilah, mutarajjilah, mungkin terjemahan yang paling mendekati adalah “wanita tomboy”.

Dalam Syarahnya, Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, bahwa laknat dan celaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi khusus ditujukan kepada orang yang sengaja meniru lawan jenisnya. Adapun bila hal tersebut bersifat pembawaan (karakter asli), maka ia cukup diperintah agar berusaha meninggalkannya semaksimal mungkin secara bertahap. Bila ia tidak mau berusaha meninggalkannya, dan membiarkan dirinya seperti itu, barulah ia berdosa, lebih-lebih bila ia menunjukkan sikap ridha dengan perangainya tadi.

Adapun sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa mukhannats alami tidak dianggap tercela ataupun berdosa. Maksudnya ialah seseorang yang tidak bisa meninggalkan cara berbicara yang lembut dan gerakan gemulai setelah ia berusaha meninggalkannya. Sedangkan bila ia masih dapat meninggalkannya walaupun secara bertahap, maka ia dianggap berdosa bila melakukannya tanpa udzur. (Fathul Bari, 10/332)

Dari keterangan tadi, dapat disimpulkan bahwa banci terbagi menjadi dua.

Pertama: Banci alami. Yaitu seseorang yang ucapannya lembut dan tubuhnya gemulai secara alami, dan ia tidak dikenal sebagai orang yang suka berbuat keji. Maka orang seperti ini tidak dianggap fasik. Dia bukan orang yang dimaksud oleh hadits-hadits di atas sebagai objek celaan dan laknat.

Kedua: Banci karena sengaja meniru-niru kaum wanita, dengan melembutkan suara ketika berbicara, atau menggerakan anggota badan dengan lemah gemulai. Perbuatan ini adalah kebiasaan tercela dan maksiat yang menjadikan pelakunya tergolong fasik. (At-Tamhid 22/273, Al-Mughni 7/462 dan Mughnil Muhtaj 4/430)

Pembagian ini juga berlaku bagi wanita yang menyerupai laki-laki (waria). Sebab pada dasarnya kaum wanita juga terkena perintah dan larangan dalam agama sebagaimana laki-laki, selama tidak ada dalil yang mengecualikannya.

Jadi, tindakan menyerupai lawan jenis yang disengaja bukanlah hal sepele. Tindakan itu tergolong dosa besar dan merupakan perbuatan tercela. Nantinya tidak hanya berpengaruh secara lahiriyah, namun juga merusak kejiwaan. Seorang banci memiliki fisik seperti laki-laki, namun jiwanya menyerupai wanita. Demikian pula waria yang fisiknya wanita, namun jiwanya laki-laki. Mereka sengaja mengubah fisik dan kejiwaan aslinya, sehingga hati mereka pun turut berubah dan rusak karenanya. Oleh sebab itu, kaum banci dan waria jarang sekali mendapat hidayah dan bertaubat dari dosa besar tersebut. Ini merupakan peringatan dari Allah Ta'ala agar kita mengambil pelajaran darinya, dan bersyukur kepada-Nya yang telah menjadikan kita memiliki jiwa dan raga yang sehat wal afiat.

Profesi Banci

Mungkin yang terlintas dalam benak kita ketika membayangkan profesi banci, bencong, waria, ialah seperti penata rias (salon), pengamen, pelawak, penjaja cinta (PSK) atau desainer busana. Akan tetapi, bila kita merujuk ke penjelasan para Salaf, ternyata ada juga yang mereka anggap sebagai profesi banci, dan kini banyak dilakoni oleh lelaki normal, bahkan terkesan sebagai profesi keren, seperti menjadi penyanyi.

Al-Marwazi rahimahullahmeriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah, bahwasanya beliau mengatakan: “Penghasilan orang banci adalah kotor, sebab ia mendapatkan uang lewat menyanyi, dan orang banci tidaklah menyanyikan sya’ir-sya’ir yang mengajak untuk zuhud; namun ia bernyanyi seputar cinta, asmara, atau meratapi kematian”. Dari sini, jelaslah bahwa Imam Ahmad rahimahullah menganggap penghasilan seorang banci sebagai sesuatu yang makruh. (Talbis Iblis, 1/281)

Bila dicermati, yang dimaksud ‘makruh’ oleh Imam Ahmad ialah karahah tahrim, alias makruh yang berarti haram. Sebab beliau mengaitkannya dengan hal-hal yang sifatnya haram, seperti bernyanyi seputar cinta, asmara, dan meratapi orang mati.

Jadi, seorang penyanyi yang nampak gagah di mata banyak orang hari ini, menurut para Salaf adalah orang banci, dan penghasilan mereka sifatnya haram, karena diperoleh melalui cara yang haram. Apalagi jika ia sengaja bertingkah laku seperti wanita (pura-pura banci), maka lebih haram lagi, sebagaimana yang sering dilakukan para pelawak.

Demikian pula banci yang bekerja di salon dan melayani wanita yang bukan mahramnya, ini juga makruh hukumnya bila ia seorang banci alami, sebab profesi ini justru melestarikan sifat bancinya, padahal ia diperintahkan untuk meninggalkan sifat tersebut. Namun bila ia sekedar pura-pura banci, maka pekerjaan ini jelas haram hukumnya.

Apalagi yang berprofesi sebagai bencong penjaja cinta dan akrab dengan tindak-tindak asusila, maka jauh lebih diharamkan lagi, karena mereka melakukan perbuatan kaum Luth yang sangat tercela dan berat sanksinya dalam agama. Bahkan saking bejatnya perbuatan ini, pelakunya tidak pantas dibiarkan hidup.

Beberapa Kebiasaan Banci

1. Memacari (Mewarnai) Tangan dan Kaki.

Imam Nawawi rahimahullahmengatakan, “Mewarnai kedua tangan dan kaki dengan pacar (hena) dianjurkan bagi wanita yang bersuami. Hal ini berdasarkan sejumlah hadits yang masyhur dalam bab ini. Akan tetapi ia haram bagi kaum lelaki, kecuali bila digunakan sebagai obat dan semisalnya. Salah satu dalil yang menunjukkan keharamannya ialah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih, bahwa Allah melaknat kaum lelaki yang menyerupai perempuan dan kaum perempuan yang menyerupai lelaki. Demikian pula dalam hadits shahih dari Anas, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang orang laki-laki menggunakan za’faran. (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Larangan ini berkenaan dengan warnanya, bukan dengan aromanya; sebab menggunakan sesuatu yang harum hukumnya sunnah bagi lelaki. Hena (pacar), dalam hal ini juga sama dengan za’faran (saffron). (Al-Majmu’, 1/294)

Imam Asy-Syaukani rahimahullah mengatakan, “Telah dijelaskan bahwa mewarnai tangan dan kaki dengan pacar adalah perbuatan kaum wanita. Dan sebagaimana diketahui, hal ini dilakukan oleh lelaki yang ingin menyerupai wanita.” (As-Sailul Jarrar, 4/126)

2. Menabuh Gendang.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Karena menyanyi, menabuh rebana, dan bertepuk tangan adalah perbuatan wanita; maka para salaf menamakan kaum lelaki yang melakukannya sebagai ‘banci’ (mukhannats). Mereka menamakan para penyanyi sebagai kaum banci, dan ini sangat populer dalam ucapan mereka.” (Majmu’ Fatawa, 11/565-566)

3. Menyanyi.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah juga mengatakan, “Salah satu perbuatan muhdats (baru; bid'ah) yang diadakan oleh mereka (kaum sufi) ialah mendengarkan nyanyian para banci yang terkenal sebagai biduan orang-orang fasik dan pezina. Atau terkadang mereka mendengarkan nyanyian bocah-bocah kecil berwajah tampan, atau kaum wanita jelita; sebagaimana kebiasaan pengunjung tempat-tempat hiburan…” (Majmu’ Fatawa, 11/565-566)

4. Berjoget.

Menurut madzhab Hanafi, orang yang menghalalkan berjoget adalah kafir. Yang dimaksud joget di sini, artinya melakukan gerakan miring kesana kemari yang disertai membungkukkan dan mengangkat badan dengan cara tertentu, sebagaimana tarian tarekat sufi. (Hasyiyah Ibnu Abidin, 4/259)

Adapun menurut ulama Syafi’iyyah, berjoget tidak diharamkan kecuali bila gerakannya lemah gemulai seperti orang banci. (Al-Minhaj, 1/497)

Sedangkan menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah, berjoget hukumnya makruh. (Hasyiyah Ash-Shawi, 5/217 dan Al-Inshaf, 6/89)

Ash-Shan’ani rahimahullahmengatakan: “Berjoget dan bertepuk tangan adalah kebiasaan orang fasik dan bejat; bukan kebiasaan orang yang mencintai Allah dan takut kepada-Nya…” (Subulus Salam, 5/1)

5. Memangkas Jenggot Dan Mencukurnya.

Maksudnya, ialah jenggot yang panjangnya kurang dari satu genggam. Ibnu Abidin mengatakan, “Adapun memangkas jenggot yang panjangnya kurang dari satu genggam, sebagaimana yang dilakukan sebagian orang Maghrib dan lelaki banci, maka tidak ada seorang alim pun yang membolehkannya.” (Hasyiyah Ibnu Abidin, 2/418)

Beberapa Aturan Terkait Orang Banci

1. Menjadi Imam Shalat

Jika yang bersangkutan banci alami, maka ia sah menjadi imam shalat. Dan ia tetap diperintahkan untuk berusaha meninggalkan sikap bancinya secara kontinyu dan bertahap. Bila ternyata belum bisa juga, maka tidak ada celaan baginya.

Adapun jika ia pura-pura banci, maka ia dianggap fasik. Dan orang fasik hukumnya makruh menjadi imam, demikian menurut ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, Zhahiriyah, dan salah satu riwayat dalam madzhab Maliki. (Al-Umm 1/166, Al-Majmu’ 4/287 dan Al-Muhalla 4/212)

Adapun menurut ulama Hanabilah dan Malikiyah dalam riwayat lainnya, orang fasik tidak sah menjadi imam shalat.( Al-Inshaf 2/252, Syarah Muntahal Iradat 1/272 dan At-Taj wal Iklil 2/93) Hal ini didasarkan kepada pendapat Imam Az-Zuhri rahimahullahyang mengatakan, “Menurut kami, tidak boleh shalat bermakmum di belakang laki-laki banci, kecuali dalam kondisi darurat yang tidak bisa dihindari lagi,” sebagaimana yang dinukil oleh Imam Al-Bukhari. (HR. Al-Bukhari, 1/141)

2. Bolehkah Seorang Banci Memandang Wanita?

Masalah ini tidak lepas dari dua kondisi :

Pertama : Jika orang banci tersebut memiliki kecenderungan terhadap wanita, maka tidak ada khilaf dalam hal ini bahwa ia diharamkan dan termasuk perbuatan fasik. (Fathul Qadir 2/222, At-Tamhid 22/273, Mughnil Muhtaj 3/128 dan Al-Mughni 7/462)

Kedua : Ia seorang banci alami yang tidak memiliki kecenderungan terhadap wanita, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

1. Ulama Malikiyah, Hanabilah dan sebagian Hanafiyah memberi rukhsah (keringanan) baginya untuk berada di tengah kaum wanita dan memandang mereka. Dalilnya ialah firman Allah ketika menjelaskan siapa saja yang boleh melihat wanita, dan siapa saja yang kaum wanita boleh berhias di hadapannya, yaitu: أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الِإرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ yang terjemahannya: "atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak bersyahwat (terhadap wanita)." (At-Tamhid 22/273 dan Al-Mughni 7/462)

2. Ulama Syafi’iyah dan mayoritas Hanafiyah, berpendapat bahwa lelaki banci meskipun tidak bersyahwat terhadap wanita, tetap tidak boleh memandang kepada wanita. Dalam hal ini ia tetap dihukumi sebagai lelaki normal. (Mughnil Muhtaj, 3/128 dan Al-Mabsuth, 12/382)

Dalilnya ialah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah berikut:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَانَ عِنْدَهَا وَفِي الْبَيْتِ مُخَنَّثٌ، فَقَالَ لِعَبْدِ اللَّهِ أَخِي أُمِّ سَلَمَةَ: يَا عَبْدَ اللَّهِ، إِنْ فَتَحَ اللَّهُ لَكُمْ غَدًا الطَّائِفَ، فَإِنِّي أَدُلُّكَ عَلَى بِنْتِ غَيْلَانَ؛ فَإِنَّهَا تُقْبِلُ بِأَرْبَعٍ وَتُدْبِرُ بِثَمَانٍ! فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : لَا يَدْخُلَنَّ هَؤُلَاءِ عَلَيْكُنَّ

Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersamanya dan saat itu di rumahnya terdapat seorang banci, maka Si banci tadi berkata kepada Abdullah saudara Ummu Salamah, "Hai Abdullah, jika besok Allah menaklukkan kota Thaif bagi kalian; maka akan kutunjukkan kepadamu puteri Ghailan yang dari depan menampakkan empat lipatan sedangkan dari belakang terlihat delapan," maka Rasûlullah bersabda, "Jangan sekali-kali mereka (orang-orang banci itu) masuk ke tempat kalian (kaum wanita).” (HR. Al-Bukhari, no. 5887)

Hadits ini menunjukkan bahwa banci yang dilarang untuk masuk ke tempat wanita ialah banci yang memiliki kecenderungan (bersyahwat) terhadap wanita, sebab ia bisa menceritakan keindahan tubuh wanita yang pernah dilihatnya kepada lelaki. Sehingga dikhawatirkan ia akan membongkar aurat wanita muslimah bila dibiarkan keluar masuk ke tempat mereka. Adapun banci alami yang sama sekali tidak bersyahwat terhadap wanita, tidak akan melakukan hal tersebut.

Kesimpulannya : Pendapat yang rajih adalah pendapat pertama yang sesuai dengan zhahir al-Qur’an.

3. Kesaksian Seorang Banci

Menurut ulama Hanafiyyah, orang banci yang tertolak kesaksiannya ialah yang sengaja berbicara lemah-lembut dan kemayu (manja) seperti wanita. Adapun bila ia memiliki nada suara yang lembut dan fisiknya lembek secara alami, dan tidak dikenal sebagai orang bejat; maka kesaksiannya masih diterima. (Fathul Qadir, 17/130)

Adapun ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menganggap bahwa menyerupai wanita adalah perbuatan haram yang menjadikan kesaksian seseorang tertolak. Tentunya, yang dimaksud bila sengaja menyerupai wanita, bukan karena pembawaannya. (Al-Muhadzdzab, 2/325 dan Al-Mughni, 12/40)

Sedangkan menurut ulama Malikiyah, diantara yang tertolak kesaksiannya ialah seseorang yang tidak mempunyai rasa malu, dan termasuk sikap ini ialah bertingkah banci. (Hasyiyah Ad-Dasuqi, 4/166)

Kesimpulannya : Madzhab yang empat sepakat bahwa status kesaksian orang banci perinciannya seperti yang dijelaskan oleh ulama Hanafiyah.

4. Sanksi Bagi Seorang Banci

Lelaki yang sengaja bertingkah seperti wanita (pura-pura banci) tidak lepas dari dua keadaan :

Pertama : Laki-laki yang sengaja bertingkah sebagai banci tanpa terjerumus dalam perbuatan keji, ini tergolong maksiat yang tidak ada had maupun kaffaratnya. Sanksi yang pantas diterimanya bersifat ta’zir (ditentukan berdasarkan pertimbangan hakim), sesuai dengan keadaan si pelaku dan kelakuannya. Dalam hadits disebutkan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjatuhkan sanksi kepada orang banci dengan mengasingkannya atau mengusirnya dari rumah. Demikian pula yang dilakukan oleh para Sahabat sepeninggal beliau.

Adapun ta’zir yang diberlakukan meliputi :

1. Ta’zir berupa penjara. Menurut madzhab Hanafi, lelaki yang kerjaannya menyanyi, banci, dan meratapi kematian pantas dihukum dengan penjara sampai mereka bertaubat. (Al-Mabsuth, 27/205)

2. Ta’zir berupa pengasingan. Menurut madzhab Syafi’i dan Hambali, seorang banci hendaklah diasingkan walaupun perbuatannya tidak tergolong maksiat (alias ia memang banci asli). Akan tetapi pengasingan tadi dilakukan untuk mencari kemaslahatan. (Mughnil Muhtaj, 4/192 dan Al-Fatawa Al-Kubra, 5/529)

Ibnul Qayyim rahimahullahmengatakan, “Termasuk siasat syar’i yang dinyatakan oleh Imam Ahmad, ialah hendaklah seorang banci itu diasingkan; sebab orang banci hanya menimbulkan kerusakan dan pelecehan atas dirinya. Penguasa berhak mengasingkannya ke negeri lain yang di sana ia terbebas dari gangguan orang-orang. Bahkan jika dikhawatirkan keselamatannya, orang banci tadi boleh dipenjara.” (Bada’i Al-Fawaid, 3/694)

Kedua : Orang banci yang membiarkan dirinya dicabuli dan disodomi.

Orang banci seperti ini sanksinya diperselisihkan oleh para ulama. Banyak fuqaha’ yang berpendapat, ia pantas mendapat hukuman seperti pezina. Sedangkan Imam Abu Hanifah rahimahullah berpendapat, hukumannya adalah ta’zir yang bisa sampai ke tingkat eksekusi, (seperti:) dibakar, atau dijungkalkan dari tempat yang tinggi. Sebab para sahabat juga berbeda pendapat tentang cara menghukumnya. (Al-Mabsuth 11/78, Al-Fawakih Ad-Dawani 2/209 dan Raudhatut Thalibin 10/90)

Nasihat Bagi Laki-Laki Banci

Sebagai penutup, kami nasihatkan kepada siapa saja yang tergolong banci, agar segera bertaubat kepada Allah Ta'ala. Tekunlah belajar ilmu syar’i yang dapat mendorong untuk taat kepada Allah Ta'ala dan menghindari maksiat. Bertemanlah dengan orang-orang yang baik agar mereka mendorong dan menolong dalam kebaikan.

Hendaklah disadari, bahwa orang yang paling merugi ialah mereka yang merugi di dunia dan akhirat. Ia harus banyak berdoa, sebab dengan doa, Allah Ta'ala akan mewujudkan harapan dan menerima taubatnya. Wallahu a’lam.

Judul :Pandangan Syari'at Terhadap Banci
Link :Pandangan Syari'at Terhadap Banci

Artikel terkait yang sama:


Pandangan Syari'at Terhadap Banci

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pandangan Syari'at Terhadap Banci"

Posting Komentar