Pembahasan Matan Safinatun Najah: Rukun Islam

Ikhwan Kajian yang selalu mendapat keberkahan. Informasi atau opini terkadang membuat kita berdetak kagum dan bangga dengan info tersebut. Dan tidak sadar pula kita kadang selalu terpengaruh akan kata dan bujuk rayuannya.Namuan dengan adanya Pembahasan Matan Safinatun Najah: Rukun Islam kita bisa mencari celah kebenaranya tanpa adanya sifat menyalahkannya. Namun hanya mencari letak dasar kebenaranya itu sendiri.

Pembahasan Matan Safinatun Najah: Rukun Islam mengajak kita untuk berfikir untuk menambah khasanah keilmuan kita.Dengan adanya kajian tentangnya kita mengerti yang benar dan yang salah.Jadikan memontum ini untuk menguatjan kita.Dan pastikan pula kita selalu mawas diri dalam menghadapi setiap problematik kehidupan kita.Dan selu berhati hati dalam menyikapi segala sesuatunya.

“Islam didirikan diatas lima hal: 1) Bersaksi bahwasanya tiada Tuhan selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya Allah, 2) Mendirikan shalat, 3) Menunaikan zakat, 4) Berhaji ke Baitullah dan 5) Puasa Ramadhan.” (HR. Al-Bukhari no. 7 dan Muslim no. 16)


Kembali melanjutkan pembahasan Kitab Matan Safinatun Najah karya Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadhrami rahimahullah. Pada kesempatan kali ini, penulis akan membahas pasal mengenai Rukun Islam. Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadhrami rahimahullahberkata:

(فصل) أَرْكَانُ الإسْلَامِ خَمْسَةٌ: شَهَادَةُ أنْ لاإلهَ إلاالله وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، وَإِقَامُ الصَّلَاةِ، وَإِيتَاءُ الزَّكَاةِ، وَصَوْمُ رَمَضَانَ، وَحِجُّ البيتِ مَن اسْتَطاعَ إليه سبيلا.

“(Pasal) Rukun Islam ada lima: 1) Bersaksi bahwasanya tiada Tuhan selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, 2) Mendirikan shalat, 3) Menunaikan zakat, 4) Puasa Ramadhan dan 5) Haji ke Baitullah bagi yang mampu dalam perjalanan.” (Matan Safinatun Najah, hal. 15-16)

Penjelasan kalimat أركان الإسلام خمسة

Arkan (أركان) merupakan bentuk jamak dari rukun (ركن) yang secara bahasa memiliki arti bagian yang paling kuat. Rukun secara istilah bermakna unsur atau elemen pembentuk sesuatu. Makna Islam (الإسلام) secara bahasa adalah tunduk, patuh dan berserah diri. Sedangkan secara istilah menurut Syaikh Muhammad At-Tamimi rahimahullah, Islam bermakna:

الاستسلام لله بالتوحيد والانقياد له بالطاعة، والبراءة من الشرك وأَهله

“Pasrah kepada Allah dengan bertauhid, tunduk kepada-Nya dengan mentaati-Nya, dan berlepas diri dari semua kesyirikan dan pelakunya.” (Tsalatsatul Ushul, Jilid 1 hal. 189)

Sehingga makna dari Rukun Islam (أَرْكَانُ الإسْلَامِ) adalah unsur-unsur yang membentuk ketauhidan dan ketaatan kepada Allah serta berlepas diri dari kesyirikan. Dan unsur-unsur ini berjumlah lima yaitu: 1) Bersaksi bahwasanya tiada Tuhan selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, 2) Mendirikan shalat, 3) Menunaikan zakat, 4) Puasa Ramadhan dan 5) Haji ke Baitullah bagi yang mampu dalam perjalanan.

Dalil yang mejadi landasan tentang rukun Islam ini adalah hadits dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma,beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ

“Islam didirikan diatas lima hal: 1) Bersaksi bahwasanya tiada Tuhan selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya Allah, 2) Mendirikan shalat, 3) Menunaikan zakat, 4) Berhaji ke Baitullah dan 5) Puasa Ramadhan.” (HR. Al-Bukhari no. 7 dan Muslim no. 16)

Jika diperhatikan dari segi pengamalan, maka rukun Islam ini terbagi menjadi empat kelompok, yaitu:
1.       Amal i’tiqadiyah yaitu Syahadat
2.       Amal badaniyah yaitu shalat dan puasa
3.       Amal maliyah yaitu zakat
4.       Amal badaniyah dan maliyah yaitu haji.

Penjelasan kalimat  شهادة أن لاإله إلاالله وأن محمدا رسول الله

Secara etimologi, syahadat (شهادة) berasal dari kata syahida-yasyhadu-syahadatan (شهد يشهد شهادة) yang memiliki makna menyaksikan. Sedangkan secara syari’at, syahadat bermakna pernyataan diri dengan segenap jiwa dan raga atas persaksian bahwa tiada Tuhan yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallamadalah hamba Allah dan Rasul-Nya. Syahadat sendiri merupakan kunci bagi seseorang untuk memeluk islam. Dengan kalimat syahadat maka seseorang telah resmi menjadi muslim dan berlaku bagi dirinya hukum islam termasuk di dalamnya beban taklifi jika orang tersebut sudah memasuki usia baligh seperti kewajiban shalat, zakat, puasa Ramadhan dan haji, serta dengan syahadat ini maka seseorang dilindungi atas darah, kehormatan serta harta bendanya, juga dalam hal lain seperti mawaris, sahnya pernikahan dan lain sebagainya. Kalimat syahadat ini sendiri terdiri dari dua bagian, yaitu syahadat tauhid dan syahadat risalah.

Syahadat tauhid adalah kalimat لاإله إلاالله yang bermakna tiada yang berhak diibadahi dengan benar di bumi maupun di langit melainkan Allah semata. Dialah Tuhan yang benar sedang tuhan selain-Nya adalah batil. Dalil yang menjadi landasan mengenai hal ini adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:

شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ وَالْمَلائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لا إِلَهَ إِلا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Dia yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian).Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Dia Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ali Imran [3] : 18)

Syahadat risalah adalah kalimat محمدا رسول الله yang berarti Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah. Makna dari syahadat risalah adalah mengetahui dan meyakini bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah subhanahu wa ta’ala kepada seluruh manusia, dia seorang hamba biasa yang tidak boleh disembah, sekaligus rasul yang tidak boleh didustakan. Akan tetapi harus ditaati dan diikuti. Barangsiapa yang menaatinya pasti masuk surga dan barangsiapa yang mendurhakainya pasti masuk neraka. Selain itu seorang yang telah mengikrarkan syahadat risalah ini wajib mengetahui dan meyakini bahwa sumber pengambilan syariat sama saja apakah mengenai syiar-syiar ibadah ritual yang diperintahkan Allah subhanahu wa ta’ala maupun aturan hukum dan syariat dalam segala sektor maupun mengenai keputusan halal dan haram. Semua itu tidak boleh kecuali lewat utusan Allah yang bisa menyampaikan syariat-Nya. Oleh karena itu seorang muslim tidak boleh menerima satu syariat pun yang datang bukan lewat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, barangsiapa melakukan hal tersebut maka dia telah melakukan perbuatan bid’ah dan sesat. Bahkan jika sampai mengingkari apa yang dibawakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka dia kafir. Allah subhanahu wa ta’alaberfirman:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

“Apa yang diberikan rasul kepadamu maka terimalah ia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr [59] : 7)

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa [4] : 65)

Penjelasan kalimat وإقام الصلاة

Shalat (الصلاة) secara bahasa artinya do’a (الدعاء), sedangkan secara syariat Syaikh Zainuddin Al-Malibari rahimahullah menjelaskan shalat adalah:

أقوال وأفعال مخصوصة مفتتحة بالتكبير مختتمة بالتسليم

“Segala perkataan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam.” (Fathul Mu'in, Jilid 1 hal 36)

Mendirikan shalat (إقام الصلاة) bermakna senantiasa melaksanakan shalat secara mutlak dan terus-menerus, menghidupkan, menjaga, memberikan nilai dan kemuliaan terhadap shalat di tengah masyarakat dan di antara umat manusia.

Shalat sendiri merupakan perkara yang paling penting setelah syahadat. Shalat merupakan tiang agama dimana seorang muslim wajib mendirikannya dan menjaganya secara terus-menerus sejak usia baligh hingga meninggal. Bahkan wajib bagi seorang muslim untuk memerintahkan kepada keluarga serta anak-anaknya sejak usia tujuh tahun untuk membiasakannya. Shalat adalah wajib bagi setiap muslim dalam kondisi apapun walaupun pada posisi ketakutan dan sakit. Seorang muslim wajib menjalankan shalat sesuai dengan kemampuannya baik dalam keadaan berdiri, duduk maupun berbaring bahkan diperbolehkan dengan isyarat jika orang tersebut tidak bisa melakukan shalat selain dengan cara itu. Dalil yang melandasi perintah wajibnya mendirikan shalat adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:

إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتْ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ كِتَٰبًا مَّوْقُوتًا

“Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa [4] : 103)

           Shalat wajib yang ditentukan waktunya adalah shalat Maghrib, Isya, Shubuh, Dzuhur dan Ashar. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

أَقِمِ الصَّلاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) shubuh. Sesungguhnya salat shubuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS. Al-Isra’  [17] : 78)

Dalam ayat di atas dijelaskan secara global mengenai waktu-waktu shalat. Firman Allah subhanahu wa ta’ala لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ ‘dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap’ menjelaskan mengenai empat macam waktu shalat yaitu Dzuhur, Ashar, Maghrib dan Isya. Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala قُرْآنَ الْفَجْرِ ‘quranal fajr’ yaitu Shubuh. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullah dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammenjelaskan lebih rinci mengenai waktu-waktu shalat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَقْتُ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ وَكَانَ ظِلُّ الرَّجُلِ كَطُولِهِ مَا لَمْ يَحْضُرْ الْعَصْرُ وَوَقْتُ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ وَوَقْتُ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَغِبْ الشَّفَقُ وَوَقْتُ صَلَاةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ الأَوْسَطِ وَوَقْتُ صَلاةِ الصُّبْحِ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ مَا لَمْ تَطْلُعْ الشَّمْسُ فَإِذَا طَلَعَتْ الشَّمْسُ فَأَمْسِكْ عَنْ الصَّلَاةِ فَإِنَّهَا تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ

“Waktu Dzuhur jika matahari telah tergelincir sampai bayangan seseorang sama dengan tingginya selama belum masuk waktu Ashar. Waktu Ashar tetap ada selama matahari belum berwarna kuning. Waktu shalat Maghrib selama mega merah (syafaq) belum hilang. Waktu shalat Isya hingga tengah malam. (Waktu) shalat Shubuh mulai terbitnya fajar hingga terbit matahari. Apabila matahari telah terbit, maka berhentilah dari shalat, karena matahari itu terbit di antara dua tanduk setan.” (HR. Muslim no. 612)

Shalat sendiri merupakan pembatas yang memisahkan antara seorang muslim dan kafir sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

“Perjanjian antara kami dan mereka (orang-orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka sungguh dia telah kafir.” (HR. At-Tirmidzi no. 2621, An-Nasai no. 463 dan Ibnu Majah no. 1079)

Jika seseorang meninggalkan shalat dengan sengaja serta mengingkari akan kewajiban shalat maka dia telah kafir. Akan tetapi jika seseorang meninggalkan shalat karena malas namun masih meyakini kewajiban shalat maka dia tidak dijatuhi hukuman kafir namun termasuk golongan orang-orang yang fasik dan terancam siksa neraka karena telah melakukan dosa besar. Mengenai hal ini, Imam Asy-Syafi’i rahimahullahberkata:

من ترك الصلاة المكتوبة ممن دخل في الإسلام قيل له لم لا تصلي؟ فإن ذكر نسيانا قلنا فصل إذا ذكرت، وإن ذكر مرضا قلنا فصل كيف أطقت قائما أو قاعدا أو مضطجعا أو موميا فإن قال أنا أطيق الصلاة، وأحسنها، ولكن لا أصلي وإن كانت علي فرضا قيل له الصلاة عليك شيء لا يعمله عنك غيرك، ولا تكون إلا بعملك فإن صليت، وإلا استتبناك فإن تبت، وإلا قتلناك فإن الصلاة أعظم من الزكاة

“Barangsiapa yang meninggalkan shalat wajib bagi orang yang telah masuk Islam (muslim), ditanyakan kepadanya: ‘Mengapa engkau tidak shalat?’. Jika ia menjawab: ‘Kami lupa’, maka kita katakan: ‘Shalatlah jika engkau mengingatnya’. Jika ia beralasan sakit, kita katakan kepadanya: ‘Shalatlah semampumu. Apakah berdiri, duduk, berbaring, atau sekedar isyarat saja’. Apabila ia berkata: ‘Aku mampu mengerjakan shalat dan membaguskannya, akan tetapi aku tidak shalat meskipun aku mengakui kewajibannya’. Maka dikatakan kepadanya: ‘Shalat adalah kewajiban bagimu yang tidak dapat dikerjakan orang lain untuk dirimu. Ia mesti dikerjakan oleh dirimu sendiri. Jika tidak, kami minta engkau untuk bertaubat. Jika engkau bertaubat (dan kemudian mengerjakan shalat, maka diterima). Jika tidak, engkau akan kami bunuh. Karena shalat itu lebih agung daripada zakat.” (Al-Umm, Jilid 1 hal. 281)

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:

في مذاهب العلماء فيمن ترك الصلاة تكاسلا مع اعتقاده وجوبها: فمذهبنا المشهور ما سبق انه يقتل حدا ولا يكفر وبه

“Dalam madzhab-madzhab para ulama terhadap orang yang meninggalkan shalat karena malas bersamaan dengan keyakinan akan kewajibannya, maka madzhab kami (madzhab Asy-Syafi’i) yang masyhur adalah sebagaimana yang telah lewat yaitu ia dibunuh sebagai hadd, namun tidak dikafirkan.” (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, Jilid 3 hal. 16)

Imam Al-Baghawi rahimahullah berkata:

وذهب الآخرون إلى أنه لا يكفر، وحملوا الحديث على ترك الجحود، وعلى الزجر والوعيد.  وقال حماد بن زيد، ومكحول، ومالك، والشافعي: تارك الصلاة كالمرتد، ولا يخرج به عن الدين

“Ulama lain berpendapat bahwasannya ia (orang yang meninggalkan shalat) tidak dikafirkan. Mereka membawa pengertian hadits pada meninggalkan karena juhud (pengingkaran), juga pada pengertian celaan dan ancaman. Hammad bin Zaid, Makhul, Malik, dan Asy-Syafi’i berkata: “Orang yang meninggalkan shalat seperti orang murtad, namun ia tidak keluar dari agama.” (Syarh As-Sunnah, Jilid 2 hal. 180)

Penjelasan kalimat وَإِيتَاءُ الزَّكَاةِ

Zakat (زكاة) secara bahasa artinya barakah (بركة), tumbuh (نماء), tambahan (زيادة), suci (طهارة), damai (صلاح) dan bersihnya sesuatu (صفوة الشيء ). Sedangkan secara syariat zakat adalah:

حصة من المال ونحوه يوجب الشرع بذلها للفقراء ونحوهم بشرائط خاصة

“Hitungan tertentu dari harta dan sejenisnya di mana syara’ mewajibkan untuk mengeluarkannya kepada orang-orang fakir dan yang lainnya dengan syarat-syarat khusus.” (Al-Mu’jam Al-Wasith, hal. 396)

Menunaikan zakat (إيتاء الزكاة) maksudnya adalah kewajiban untuk mengeluarkan sebagian harta dengan cara yang khusus sesuai dengan aturan tertentu (aturan zakat) seperti memilki harta mencapai nishab juga telah haul atau genap satu tahun dan diberikan hanya kepada golongan-golongan tertentu yang telah tertulis dalam Al-Quran. Didalam Al-Quran, kadang istilah zakat ini diistilahkan pula dengan shadaqah dan infaq. Dalil yang melandasi akan kewajiban menunaikan zakat adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَآتُواْ الزَّكَاةَ وَارْكَعُواْ مَعَ الرَّاكِعِينَ

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukulah beserta orang-orang yang ruku.” (QS. Al-Baqarah [2] : 43)

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ

“Ambillah shadaqah (zakat) dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (QS. At-Taubah [9] : 103)

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ

“Hai orang-orang yang beriman, berinfaqlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu infaqkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Al-Baqarah [2] : 267)

Secara umum zakat dibagi menjadi dua yaitu zakat diri dan zakat harta. Zakat diri atau zakat fitrah yaitu zakat yang diwajibkan kepada segenap kaum muslimin, laki-laki maupun perempuan, orang dewasa maupun anak kecil termasuk bayi yang masih dalam kandungan, orang tuanya wajib mengeluarkan zakat bayinya. Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata:

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fitrah sebanyak satu sha' kurma atau satu sha' gandum. Kewajiban itu dikenakan kepada hamba sahaya, orang merdeka, laki-laki, perempuan, anak kecil dan orang dewasa dari orang-orang Islam. Dan beliau memerintahkannya supaya ditunaikan sebelum orang-orang keluar menuju (tempat) shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 1407, Muslim no. 1635, An-Nasa’i no. 2455, At-Tirmidzi no. 611, Abu Dawud no. 1373, Ibnu Majah no. 1816, Ahmad no. 5051, Malik no. 553 dan Ad-Darimi no. 1602)

Zakat harta atau zakat mal yaitu zakat yang diwajibkan kepada pemilik harta ketika terpenuhi syarat-syaratnya seperti telah mencapai nishab dan telah haul, walaupun tidak semua zakat mal ada nishab dan haul atau genap satu tahun. Di antara jenis zakat mal seperti perdagangan (tijarah), pertanian (zira’ah), hewan ternak (an’am), emas dan perak (naqdain) termasuk di dalamnya mata uang, harta temuan (rikaz) dan barang tambang (ma’din).

Zakat sendiri merupakan suatu kewajiban yang harus ditunaikan. Jika seseorang mengingkari dan menentang kewajiban zakat maka dia kafir berdasarkan ijma’ para ulama dan terancam dengan adzab Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana firman-Nya:

وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَهُمْسَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan di lehernya kelak pada hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Ali Imran [3] :180)

Tentang makna ayat سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ‘harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan di lehernya kelak pada hari kiamat’ di atas dijelaskan oleh hadits-hadits shahih. Antara lain sebagaimana hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَلَمْ يُؤَدِّ زَكَاتَهُ مُثِّلَ لَهُ مَالُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شُجَاعًا أَقْرَعَ لَهُ زَبِيبَتَانِ يُطَوَّقُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ يَأْخُذُ بِلِهْزِمَتَيْهِ يَعْنِي بِشِدْقَيْهِ ثُمَّ يَقُولُ أَنَا مَالُكَ أَنَا كَنْزُكَ

“Barangsiapa diberi harta oleh Allah, lalu dia tidak menunaikan zakatnya, pada hari kiamat hartanya dijadikan untuknya menjadi seekor ular jantan aqra’ (yang kulit kepalanya rontok karena dikepalanya terkumpul banyak racun), yang berbusa dua sudut mulutnya. Ular itu dikalungkan (di lehernya) pada hari kiamat. Ular itu memegang dengan kedua sudut mulutnya, lalu ular itu berkata: “Saya adalah hartamu, saya adalah simpananmu.” (HR. Al-Bukhari no. 1403)

Juga dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَ يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ ، يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لأَنفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنتُمْ تَكْنِزُونَ

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu di dalam neraka Jahannam, lalu dibakarnya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan.” (QS. At-Taubah [9] : 34-35)

Firman Allah subhanahu wa ta’ala di atas dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau:

مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلَا فِضَّةٍ لَا يُؤَدِّي مِنْهَا حَقَّهَا إِلَّا إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ صُفِّحَتْ لَهُ صَفَائِحَ مِنْ نَارٍ فَأُحْمِيَ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَيُكْوَى بِهَا جَنْبُهُ وَجَبِينُهُ وَظَهْرُهُ كُلَّمَا بَرَدَتْ أُعِيدَتْ لَهُ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ الْعِبَادِ فَيَرَى سَبِيلَهُ إِمَّا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلَى النَّارِ

“Tidaklah pemilik emas dan pemilik perak yang tidak menunaikan haknya (perak) darinya (yaitu zakat), kecuali jika telah terjadi hari kiamat (perak) dijadikan lempengan-lempengan di neraka, kemudian dipanaskan di dalam neraka Jahannam, lalu dibakarlah dahinya, lambungnya dan punggungnya. Tiap-tiap lempengan itu dingin, dikembalikan (dipanaskan di dalam Jahannam) untuk (menyiksa)nya. (Itu dilakukan pada hari kiamat), yang satu hari ukurannya 50 ribu tahun, sehingga diputuskan (hukuman) di antara seluruh hamba. Kemudian dia akan melihat jalannya, kemungkinan menuju surga, dan kemungkinan menuju neraka.” (HR. Muslim no. 9887)

Penjelasan kalimat وَصَوْمُ رَمَضَانَ

Puasa (صوم) merupakan isim mashdar dari kata صام – يصوم yang secara bahasa bermakna menahan (إمساك). Bentuk jamak dari صوم yaitu صيام. Sedangkan secara syariat menurut Syaikhul Islam Zakariyya Al-Anshari rahimahullah, puasa bermakna:

إمساك عن المفطر على وجه مخصوص

“Menahan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkannya sesuai dengan tata cara yang telah ditentukan.” (Fathul Wahhab, Jilid 1 hal. 118)

Puasa Ramadhan (صوم رمضان) sendiri bermakna menahan diri dari makan dan minum serta segala perbuatan yang bisa membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar hinggalah terbenam matahari, dengan syarat-syarat tertentu untuk meningkatkan ketakwaan seorang Muslim dan dilakukan di bulan Ramadhan yaitu bulan kesembilan dalam penanggalan kalender hijriyah.

Hukum puasa Ramadhan ini adalah wajib bagi setiap Muslim yang telah memenuhi syarat wajib puasa. Dalil yang melandasi kewajiban puasa Ramadhan adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2] : 183)

Pelaksanaan puasa Ramadhan adalah selama sebulan penuh yaitu di bulan Ramadhan dan dilaksanakan sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Bulan Ramadhan, bulan yang padanya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kalian yang menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa di bulan itu.” (QS. Al-Baqarah [2] : 185)

وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى الَّليْلِ

“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al-Baqarah [2] : 187)

Penjelasan kalimat وَحِجُّ البيتِ مَن اسْتَطاعَ إليه سبيلا

            Haji (حج) secara bahasa berarti menyengaja (قصد) atau memperbanyak menuju sesuatu yang diagungkan (كثرته إلى من يعظم). Sedangkan menurut syariat, Syaikh Zainuddin Al-Malibari rahimahullah menjelaskan bahwa Haji adalah:

قصد الكعبة للنسك الآتي

“Berkunjung menuju Ka’bah untuk menunaikan ibadah yang akan dijelaskan selanjutnya.” (Fathul Muin, Jilid 1 hal. 282)

            Al-Bait (البيت) yang dimaksud disini adalah Baitullah (بيت الله) yaitu Ka’bah yang berada di Makkah Al-Mukaramah dimana Ka’bah ini menjadi pusat kiblat umat Muslim di seluruh dunia ketika melaksanakan shalat. Ka’bah sendiri terletak di dalam Masjidil Haram yang merupakan Masjid terbear dan paling disucikan oleh umat Muslim.

            Sedangkan kalimat bagi siapa yang mampu dalam perjalanan (من استطاع إليه سبيلا), kalimat mampu (استطاع) adalah mampu dalam menyiapkan perbekalan, alat-alat pengangkutan, sehat jasmani dan aman dalam perjalanan serta telah menjamin kehidupan bagi keluarga yang ditinggalkannya.

            Hukum haji ke Baitullah adalah wajib sekali seumur hidup. Maka jika seseorang melakukan ibadah haji lebih dari satu kali maka haji yang selanjutnya hukumnya adalah sunnah. Jika ada seseorang mengingkari kewajiban haji, maka orang tersebut dijatuhi hukuman kafir. Dalil yang menjadi landasan wajibnya haji ke Baitullah adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

“Dan hanya karena Allahlah haji ke Baitullah itu diwajibkan bagi manusia yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa yang kafir maka sesungguhnya Allah tidak butuh terhadap seluruh alam semesta.” (QS. Ali ‘Imran [3] : 97)

            Sedangkan dalil yang menjelaskan mengenai kewajiban haji ke baitullah hanya sekali seumur hidup adalah hadits dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata:

خَطَبَنَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: إِنَّ اَللَّهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ اَلْحَجَّ فَقَامَ اَلْأَقْرَعُ بْنُ حَابِسٍ فَقَالَ: أَفِي كَلِّ عَامٍ يَا رَسُولَ اَللَّهِ؟ قَالَ: لَوْ قُلْتُهَا لَوَجَبَتْ، اَلْحَجُّ مَرَّةٌ، فَمَا زَادَ فَهُوَ تَطَوُّعٌ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhutbah di hadapan kami dan berkata, “Allah telah mewajibkan haji pada kalian.” Lantas Al-Aqra’ bin Habis berdiri lalu ia bertanya, “Apakah haji tersebut wajib setiap tahun?” Beliau menjawab, “Seandainya iya, maka akan kukatakan wajib (setiap tahun). Namun haji cuma wajib sekali. Barangsiapa yang (berhaji) lebih dari sekali, maka itu hanyalah haji yang sunnah.” (HR. Abu Dawud no. 1721, Ibnu Majah no. 2886 dan An-Nasai no. 2621)

            Demikianlah penjelasan mengenai Pasal Rukun Islam dalam Kitab Matan Safinatun Najah karya Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadhrami rahimahullah. Semoga Allah memudahkan kita dalam memahaminya. Wa shallallahu ‘alaa sayyidina Muhammad. Semoga bermanfaat.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Judul :Pembahasan Matan Safinatun Najah: Rukun Islam
Link :Pembahasan Matan Safinatun Najah: Rukun Islam

Artikel terkait yang sama:


Pembahasan Matan Safinatun Najah: Rukun Islam

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pembahasan Matan Safinatun Najah: Rukun Islam"

Posting Komentar