Menciptakan Yang Baru Yang Lebih Baik

Ikhwan Kajian yang selalu mendapat keberkahan. Informasi atau opini terkadang membuat kita berdetak kagum dan bangga dengan info tersebut. Dan tidak sadar pula kita kadang selalu terpengaruh akan kata dan bujuk rayuannya.Namuan dengan adanya Menciptakan Yang Baru Yang Lebih Baik kita bisa mencari celah kebenaranya tanpa adanya sifat menyalahkannya. Namun hanya mencari letak dasar kebenaranya itu sendiri.

Menciptakan Yang Baru Yang Lebih Baik mengajak kita untuk berfikir untuk menambah khasanah keilmuan kita.Dengan adanya kajian tentangnya kita mengerti yang benar dan yang salah.Jadikan memontum ini untuk menguatjan kita.Dan pastikan pula kita selalu mawas diri dalam menghadapi setiap problematik kehidupan kita.Dan selu berhati hati dalam menyikapi segala sesuatunya.


Jarang sekali saya berlama-lama di rumah; dan hari ini adalah satu dari sekian jarang hari yang saya putuskan untuk berlama-lama; bersantai dirumah. Kamar saya belum berubah jauh sejak saya tinggalkan. Beberapa foto gusdur mendominasi ruangan, lebih banyak dari foto saya sendiri.

Gus Dur ini memang idola banyak orang; begitupun saya. Sayangnya, yang lebih banyak diceritakan oleh teman-teman kita adalah soal banyolan atau nyelenehnya; atau soal betapa majunya pemikirannya, ketimbang langkah-langkah maju itu sendiri; atau katakan hal-hal kongkret yang berhasil Gus Dur lakukan. Alhasil, ada dua keluaran penggemar gusdur, yakni nyeleneh tidak bertanggung jawab tanpa berkarya. Atau jika tidak seperti itu, iya berkarya hanya atas pijakan lelucon; maka hasilnya pun hanya jadi gelak tawa tanpa ada manfaat atau kemajuan kongkret. Namun tentu berbeda, bagi yang sudah akil baligh dan betul-betul mampu meresapi perjuangan Gus Dur.

Berkelana jauh ke belakang, NU yang kita cintai ini sungguh-sungguh tidak kekurangan obor. Bisa jadi kitanya saja yang malas mempelajari rekam jejak cemerlang pemikiran pembaharu semodel Ayahanda Gus Dur, beliau KH Wahid Hasyim. Tokoh termuda dari 62 anggota BPUPKI, pun juga tokoh termuda dari 9 orang yang menandatangani Piagam Djakarta. Sumbangan ide dan tenaganya menjadi bagian penting dalam perkembangan negara ini. Beliau juga salah satu inisiator berdirinya IAIN. Bahkan ada ujar-ujar, “Jika KH Wahid diberi umur panjang, tentu sejarah Indonesia akan berbeda”. Ini tidak lain adalah bentuk penghargaan dan pengakuan mengenai sumbangsih ide dan pikiran yang tidak hanya sangat maju waktu itu, tapi juga kongkret.
Atau mungkin, kita; iya tentu disitu termasuk juga saya; terlalu nyaman dengan kebesaran NU. Lalu sekedar terjebak dengan jargon al-Muhafadhotu ‘ala qadimi al-Shalih wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah”. Sebuah jargon penghubung antara tradisi dan modernitas. Bahwa kedua-duanya tidak perlu bertentangan. Memang betul dan saya sepakat. Tapi bukan disitu titik fokusnya. Rasa-rasanya kurang galak kita sebagai anak muda, jika hanya puas mengambil atau menyesuaikan. Baik itu mempertahankan yang lama, atau mengambil yang baru yang lebih baik; kedua-duanya adalah satu bentuk kerja menyesuaikan diri terhadap apa yang sudah ada. Bisa jadi, ini menjadi jawaban mengapa kita lebih suka melakukan sesuatu yang berulang-ulang dalam segala hal; mulai dari pengkaderan, kemasyarakatan, sosial, politik dan segala hal di kehidupan. Mungkin ini yang menyebabkan kita tidakpernah menjadi yang pertama di segala hal. Dalam memutuskan perlawanan dengan HTI kita bukan yang pertama, kakak kita ANSOR jauh lebih awal. Dalam urusan pendidikan, masivme ROHIS di sekolah tidak mampu kita tandingi, sehingga ‘perlu bantuan pemerintah’ untuk mengurangi dampak negatifnya. Dan banyak urusan lain. Kita masih lebih suka mengambil dan meniru; menjadi nomer sekian dalam segala urusan.
Siapa tidak kenal Napoleon Bonaparte, bagi banyak orang ia adalah seorang jenius dan juga dewa perang. Tapi Friederich Ludwig, pangeran Hohenlohe-Ingelfingen, yang merupakan seorang Jenderal Prusia tidak beranggapan demikian. Ia berasal dari bangsawan Jerman dengan catatan militer yang melegenda. Karir Hohenlohe dimulai sejak muda dan bekerja langsung di bawah Federick Yang Agung (1712-1786), orang yang menjadikan Prusia adikuasa.
Bagi Hohenlohe sukses dalam perang tergantung pada pengorganisasian, disiplin dan strategi oleh pikiran-pikiran militer yang terlatih. Pasukan Prusia dilatih dengan metode seperti ini hingga sanggup bergerak dengan ketepatan sebuah mesin. Bagi mereka perang adalah soal matematika. Bagi Hohenlohe Napoleon tak lebih dari sekedar orang yang beruntung dalam kemanangan-kemenangannya. Dalam benaknya pasukan Napoleon yang tidak teratur itu pasti akan mudah dihancurkannya.
Agustus 1806, Hohenlohe dan para jenderal Pursia akhirnya mendapatkan kesempatan setelah horny perangnya dengan Napoleon ditahan begitu lama. Raja Friedrich Wilhelm III yang muak dengan pelanggaran janji-janji Napoleon, memutuskan perang dalam waktu enam minggu.
Dalam peperangan yang sudah diidam-udamkan itu, Hohenlohe akhirnya dikalahkan oleh Napoleon. Tentu ini diluar dugannya, karena pasukan Prusia telah dibekali dengan pengetahuan perang dari Frederick Yang Agung yang mereka yakini tidak tertandingi. Pasukan Napoleon bergerak cepat secara acak hanya menggunakan ransel di punggung mereka sementara pasuka Prusia memilih menggunakan cara lama, mengangkut perbekalan menggunakan kereta yang lamban.
Pun begitu dengan kemewahan genderang perang dan formasi pasukan yang rapi akhirnya dengan mudah dicerai berai oleh pasukan Napoleon yang lebih cerdik dengan bersembunyi di atas atap rumah. Berkali-kali terdengar tabuhan genderang untuk membentuk ulang formasi, tapi berkali-kali pula mereka dikacaukan oleh tembakan dari arah tersembunyi. Hohenlohe belum pernah melihat pasukan seperti itu. Pada akhirnya ia harus mengakui bahwa kemenangan dalam perang dan hal apapun tidak didapatkan dengan bubuk ajaib. Akan sama dan selalu menang dengan ramuan yang sudah ada. Memenangkan perang bukan perkara magic tapi merupakan sebuah inovasi.

“Ketika pada tahun 1806, para Jenderal Prusia… Jatuh ke dalam bencana karena menggunakan siasat tempur Frederick Yang Agung, hal itu bukanlah sekadar kasus gaya yang ketinggalan jaman, melainkan kemiskinan imajinasi yang paling ekstrem akibat rutinitas” – Carl von Clausewitz, ON WAR (1780-1831)

Mungkin tanpa kita sadaripun kita sedang menuju ke arah yang sama seperti Hohenlohe.

“Yang membatasi individu atau bangsa adalah ketidakmampuan melakukan konfrontasi terhadap kenyataan, memandang segala apa adanya. Dengan bertambahnnya usia, kita menjadi lebih berakar di masa lalu. Dikendalikan oleh kebiasaan . Sesuatu yang pernah efektif bagi kita menjadi doktrin, cangkang yang melindungi kita dari realita — Kreativitas digantikan oleh pengulangan –“
Robert Greene, The 33 Strategies Of War.

Pengkaderan seperti Makesta yang kita lakukan hari ini tentu pernah jaya di masanya. Usaha-usaha kita yang selama ini cenderung berulang tentu juga akan memiliki masa rasionalitas. Para ulama pendahulu kita adalah orang yang sangat radikal dan menjadi pembaharu. Kita tidak boleh hanya mengambil, baik dari masa lalu maupun dari masa sekarang. NU bukan semata jembatan penghubung tradisi dan modernitas. Kini NU telah menjadi kiblat Islam Rahmatan lil Alamin di Dunia. Masa depannya ditangan kita. Selama kita tidur dan hanya melakukan rutinitas itu — yang parahnya tidak kita cari tahu kedalamannya — tentu hanya menunggu waktu, suatu hari di masa depan organisasi yang kita cintai ini tidak lagi diterima zaman. Tanda bahayanya sudah jelas: kita tidak pernah menjadi yang pertama di bidang apapun.
Sekian. Semangat!!!!

ipnujateng.or.id

Judul :Menciptakan Yang Baru Yang Lebih Baik
Link :Menciptakan Yang Baru Yang Lebih Baik

Artikel terkait yang sama:


Menciptakan Yang Baru Yang Lebih Baik

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Menciptakan Yang Baru Yang Lebih Baik"

Posting Komentar