Ada tiga jenis barang di dalam Islam, yaitu halal, haram dan syubhat (tidak jelas halal dan haramnya).
Halal itu jelas, syaratnya ada dua, yaitu: apa-apa yang baik, tidak dilarang syariat DAN diperoleh dengan cara yang haq pula. Dua syarat ini harus terpenuhi kedua-duanya.
Haram itu jelas, syaratnya ada dua, yaitu: apa-apa yang diharamkan oleh syariat ATAU apa-apa yang diperoleh tidak dengan cara yang haq. Dua syarat ini, jika terpenuhi salah satu saja, sudah cukup untuk membuat sesuatu itu menjadi haram.
Ketika dihadapkan kepada daging babi, biasanya seorang muslim dengan mudah menolaknya, dengan alasan haram. Sesuai dengan syarat keharaman yang pertama, yaitu apa-apa yang diharamkan oleh syariat. Di antaranya Allah berfirman:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya Allah mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah [2] : 173)
Tetapi ketika disodorkan buah Kurma, sebagian kaum muslimin ‘lupa’ untuk menimbang apakah ini halal atau haram. Hukum asal Kurma adalah halal, tapi bisa menjadi haram dimakan jika diperoleh dengan cara yang batil, seperti hasil curian atau sogokan kepada pejabat. Allah menegaskan larangan ini di dalam Quran:
…وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil …” (QS. Al-Baqarah [2] : 188)
Jadi kesimpulan tentang haramnya sesuatu, pertama: apabila wujud/asalnya benda itu memang haram (seperti daging babi). Kedua: (atau) apabila cara mendapatkannya bathil, meskipun wujud/asalnya halal (seperti kurma hasil sogokan).
Lain ceritanya jika itu dalam keadaan darurat, maka diperbolehkan seperlunya sampai keadaan daruratnya hilang. Syarat keadaan darurat pun tidak sembarangan, misalnya ketika nyawa terancam. Hal ini dijelaskan oleh Allah di dalam surah Al Baqarah ayat 173 di atas, bahwa situasinya terpaksa, dia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas. Sehingga ulama merumuskan kaidah fiqih, keadaan darurat membolehkan yang haram/dilarang. Pembahasan darurat ini bab tersendiri, tapi mudah-mudahan cukuplah firman Allah di atas menjelaskan buat kita.
Jika halal dan haram itu jelas, maka syubhat adalah hal yang tidak jelas, hal yang meragukan. Berada di tengah-tengah antara halal dan haram. Gawatnya hal seperti ini tidak sedikit kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana sikap seorang muslim terhadap barang syubhat ini? Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sudah mengajarkannya dalam sebuah hadits:
عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ وَأَهْوَى النُّعْمَانُ بِإِصْبَعَيْهِ إِلَى أُذُنَيْهِ إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ
Dari An-Nu’man bin Basyir dia berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda -Nu’man sambil menunjukkan dengan dua jarinya kearah telinganya-: ‘Sesungguhnya yang halal telah nyata (jelas) dan yang haram telah nyata. Dan di antara keduanya ada perkara yang tidak jelas, yang tidak diketahui kebanyakan orang, maka barangsiapa menjaga dirinya dari melakukan perkara yang meragukan, maka selamatlah agama dan harga dirinya, tetapi siapa yang terjatuh dalam perkara syubhat, maka dia terjatuh kepada keharaman’.” (HR. Bukhari, Muslim)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan bahwa menikmati syubhat berarti jatuh kepada yang haram. Menjaga diri dari syubhat, berarti menjaga agama dan harga diri. Terjatuh ke dalam perkara syubhat, maka terjatuh kepada keharaman. Sengaja menerima uang tak jelas (atau pura-pura tidak tahu), berarti menerima uang haram. Jika ada manusia menerima dan menikmati uang tak jelas dengan argumen bahwa toh itu tidak haram (secara jelas), maka sama saja dengan menegaskan bahwa dia makan uang haram.
Di dalam hadits lain yang diriwayatkan dari cucu kesayangan beliau Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalibradliallahu ‘anhuma, nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengajarkan bagaimana cara menghadapi hal-hal yang meragukan ini. Kiat nabi saw amat sederhana: “tinggalkanlah.”
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ
“Tinggalkanlah apa yang meragukan kamu dan lakukan apa yang tidak meragukan kamu.” (HR. Tirmidzi, beliau berkata hadits hasan shahih)
Setelah jelas bagi kita bahwa perkara syubhat atau meragukan itu jatuh ke jurang keharaman dan jelas pula kiat menghadapi hal itu, sekarang kita bahas apa akibatnya jika nekat tetap menikmati hal-hal yang haram itu.
Apa akibat memakan makanan haram (termasuk syubhat)? Bisakah uang haram digunakan untuk ‘mencuci dosa’ dengan melakukan ‘amal shalih’? Pernah seorang rekan kami yang memiliki posisi di pemerintahan menyatakan, bahwa ketika dia mengambil sesuatu yang bukan haknya itu, dia juga akan mengimbanginya dengan beramal, sehingga hidup seimbang, mengejar dunia sekaligus juga mempersiapkan akhirat. Bisakah demikian?
Yang jelas ada beberapa akibat yang bisa diterima manusia dengan memakan barang haram ini.
Pertama, jalan ke neraka.
Ya, memakan barang haram adalah persiapan yang bagus untuk masuk ke neraka jahannam (untuk yang berani tentunya). Tidak perlu kita berpanjang debat, tapi cukuplah hadits shahih yang diriwiyatkan oleh Imam Ad-Darimi rahimahullah berikut ini:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ
Dari Jabir bin Abdullah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, sesungguhnya tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari makanan haram.” (HR. Darimi, sanadnya shahih)
Dalam sunan imam At-Tirmidzi rahimahullah dari jalur sahabat Ka’ab bin ‘Ujrah radliallahu ‘anhu sendiri disebutkan:
يَا كَعْبَ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لَا يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلَّا كَانَتْ النَّارُ أَوْلَى بِهِ
“Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, tidaklah daging manusia tumbuh dari barang yang haram kecuali Neraka lebih berhak atasnya.” (HR. Tirmidzi, beliau berkata ini hadits hasan gharib)
Jadi jika ada manusia yang berani memakan makanan haram, atau menafkahi anak istrinya dengan barang haram (seperti hasil korupsi, suap, manipulasi surat perjalanan dinas, uang pelicin dan sejenisnya), maka sungguh mereka itu berani terhadap api neraka, seperti yang dikatakan Allah dalam Quran:
فَمَا أَصْبَرَهُمْ عَلَى النَّارِ
“Maka alangkah beraninya mereka terhadap api neraka.” (QS. Al-Baqarah [2] : 175)
Na’udzubillah min dzalik.
Kedua, tidak akan diterima amalannya.
Ada pertanyaan, bagaimana kalau uang haram atau syubhat itu digunakan untuk amal shalih? mulai dari berzakat atau sedekah, mendirikan masjid, naik haji atau mendanai kegiatan dakwah? Di zaman ini, tidak aneh ada orang korupsi atau merampok tapi dia rajin sedekah, menyumbang masjid, mensponsori kegiatan dakwah atau naik haji berkali-kali. Akankah diterima Allah amalnya? Akankah menjadi pengurang dosanya?
Pernah kami membaca seorang tersangka koruptor mengatakan, “amal saya diterima atau tidak itu urusan Tuhan, bukan manusia.”
Argumen seperti ini lazim dilontarkan oleh orang yang sudah biasa menikmati uang haram, ketika mereka tidak terima dinasehati. Betul, bahwa diterima atau tidaknya amal seorang manusia adalah hak prerogatif Allah, tapi dengan catatan itu memang amal yang haq. Misalnya, jika itu sedekah, maka itu sedekah dari uang halal. Bahkan, sedekah dengan uang halal pun belum tentu diterima Allah, misalnya kalau dengan niat membanggakan diri (ria) tentu tidak akan menjadi pahala.
Lalu bagaimana dengan sedekah atau kegiatan dakwah Islam dengan uang haram wa syubhat? Sekali lagi, diterima atau tidaknya suatu amal memang urusan Allah semata, tapi Allah melalui perantaraan lisan rasulNya sudah menegaskan penolakannya terhadap hal seperti ini. Mari kita simak hadits shahih berikut ini:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا
Dari Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu baik. Dia tidak akan menerima sesuatu melainkan yang baik pula.” (HR. Muslim)
Artinya sangat jelas bahwa Allah tidak akan menerima sesuatu dari yang tidak baik, seperti sedekah dari uang korupsi, kegiatan dakwah dari dana syubhat, dlsb.
Sah kah berhaji dari uang haram atau syubhat? Ada perbedaan pendapat ulama tentang hal ini. Sebagian ulama menyatakannya sah selama manasiknya benar tapi dia tetap berdosa. Imam Ahmad rahimahullahmenyatakannya tidak sah (Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq).
Di sini, kami tidak akan membahas masalah khilafiyah ini panjang lebar. Mari ambil satu pendapat, katakanlah hajinya sah, jika dia sudah melakukan semua rukun haji secara baik dan benar. Tapi apakah akan diterima oleh Allah? Pertanyaan ini, jawabannya kita kembalikan kepada kegamblangan hadits di atas, yang disepakati shahih dari nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa Allah itu baik dan tidak akan menerima kecuali yang baik. Dengan kata lain Allah hanya menerima yang baik. Jadi sungguh rugi repot-repot ke tanah suci padahal sudah ada kepastian ibadah hajinya tidak akan diterima Allah karena dibiayai dengan uang haram/syubhat. Sudah badan penat, keluar duit, haji tidak diterima, berdosa pula.
Pernah pula ada sebuah organisasi dakwah Islam membolehkan kader-kadernya menerima uang
0 Response to "Uang Halal haram dan syubhat (tidak jelas halal dan haramnya)"
Posting Komentar